pengajian munakahat

Home » » Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Written By Unknown on Minggu, 05 April 2015 | 07.30

Kata Pengantar

Al Quran yang ditulis oleh orang-orang khusus dan dihafalkan sejak zaman Nabi, tentu berbeda dengan Hadits. Karena al Quran terjaga sejak zaman Rasulullah hingga kini dengan periwayatan yang mutawatir, tidak pernah dipermasalahkan oleh umat Islam.
Seluruh ayatnya terhimpun dalam Quran tidak pernah mengalami perubahan.

Ulumul Quran mencakup 77450 ilmu atas jumlah kalimat dalam Quran. Dari sekian banyak itu al Quran hanya berfokus pada kandungan dan aplikasinya. Sedang untuk Hadits yang dikaji tidak hanya kandungan dan aplikasinya, tetapi juga periwayatannya karena secara terbuka Hadits baru dilakukan usaha penulisan, pembukuan dan kodifikasi secara sistematis sekitar +90 tahun wafatnya Nabi Muhammad.

Jeda waktu panjang dari penulisan dan pembukuan Hadits secara sistematis dengan masa hidup Nabi, memungkinkan berkurangnya validitas sebuah Hadits. Atau bahkan menjadi peluang untuk melakukan pemalsuan Hadits karena orientasi tertentu. Sementara sebagai salah satu sumber hukum naqli, validitas Hadits adalah kebutuhan vital. Tidak mungkin hukum didasarkan pada sesuatu yang tidak jelas sumber dan kesahihannya.

Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan Hadits dan Ilmu Hadits ?
b. Faktor-faktor apakah yang mendorong ulama melakukan kajian ilmu Hadits?
c. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu Hadits dalam Khasanah Keilmuan Islam?


BAB I
Pengertian Hadits dan Ilmu Hadits

Pengertian Hadits
Secara leksikal, kata Hadits bermakna al Khabar (berita), ¬al-jadid (yang baru), atau setiap apa yang diceritakan baik pembicaraan atau khabar. Bila kata Hadits ditinjau dari sisi etimologis (asal usul kata), lafadz حدث dapat berarti al kalam (pembicaraan), al waq’u (kejadian), ibtada’a (mengadakan), al sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al qadim (lawan dari yang lama). Dari sudut pandang bahasa, secara mikro Hadits hanya terbatas sebagai suatu berita, pembicaraan dan sesuatu yang baru. Akan tetapi dalam tinjauan makro, kata حدث sebagai kata dasar memiliki cakupan makna yang luas.
Secara terminologi, Subhi Shaleh mendefinisikan Hadits sebagai sinonim dari kata Sunnah yang berarti segala perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. 

Berbeda dengan Subhi, Ahli Fiqh lebih banyak menggunakan kata Sunnah sebagai anonim dari fardlu dan wajib. Dalam hal ini sunnah berarti sesuatu yang dianjurkan. Dalam kajian lain sunnah digunakan sebagai lawan dari bid’ah. Sebagaimana Hadits al Irbadh Ibn Sariyah bahwa siapapun yang menyaksikan banyak pertentangan, kalian harus berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin setelahku.

Penggunaan istilah Sunnah dalam teks-teks naqliyah, memang identik dengan istilah Hadits. Dalam al Quran seperti disebutkan dalam QS. Al Fath (48):23, menunjukkan penggunaan sunnah disandarkan kepada Allah swt, sementara dalam salah satu Hadits riwayat Bukhari disebutkan :
فمن رغب عن سنتي فليس مني
…barangsiapa membenci sunnahku, maka bukan bagian dari ummatku.
Persoalan keidentikan makna antara Hadits dan Sunnah menjadi kajian tersendiri dalam memahami pengertian Hadits dan Sunnah. Menurut golongan mutaakhirin, terutama ulama Hadits bahwa antara Hadits dan Sunnah adalah sinonim sekalipun berbeda arti etimologi dan terminologi. Tetapi pada akhirnya, para pakar Hadits sendiri menilai apa adanya bahwa Hadits dan Sunnah sinonim baik dalam eksistensi maupun substansinya.

Yusuf Qardlawi dalam Madkhal Li Dirasah As Sunnah An Nabawiyah membagi Hadits atau Sunnah dalam lima bentuk, yaitu :
a. Perkataan Nabi
Perkataan Nabi yang menjadi bagian dari Hadits dibagi menjadi khabar atau berita dan insya atau perintah. Termasuk diantara khabar/berita adalah Hadits Qudsy. Mayoritas ulama mendefinisikan Hadits Qudsy sebagai perkataan Nabi yang makna yang dikandung berasal dari Allah, sementara redaksinya dari Nabi. Salah satu contoh Hadits Qudsy adalah Hadits riwayat Muslim dari Abu Dzar:
يا عبادي إنى حرمت الظلم علي نفسي وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا
Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kedzaliman atas diriKu, dan menjadikannya bagi kamu sekalian haram. Maka janganlah kalian saling mendzalimi.
Redaksi insya mencakup makna perintah, larangan, doa atau kata lain yang semakna seperti Hadits riwayat Ahmad, at Tirmidzi, an Nasa’i dan lainnya :
دع ما يريبك إلي مالايريبك
Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu kepada yang tidak meragukanmu.

Hadits qauli atau perkataan ini dianggap merupakan representasi atau gambaran utuh sunnah Nabi sehingga tuntunan dan penetapan hukum harus bertolak darinya. Melalui Hadits qauli, penjelasan Nabi mendapatkan momentum yang tepat, disamping hal itu menjelaskan pula kefasihan Nabi. Dalam Hadits qauli, ada yang disebut jawami’ al-kalim, yaitu salah satu bentuk keistimewaan Rasulullah SAW dari Allah yang mampu merangkum berbagai makna yang dikehendaki, tetapi menggunakan kalimat yang sedikit saja. Namun demikian Hadits qauli ataupun fi’li mempunyai porsi yang sama kuat sebagai dasar pijakan hukum.

b. Perbuatan Rasulullah
Bentuk lain Hadits Nabi adalah perbutan Rasulullah, yaitu segala tindak tanduk keseharian beliau, baik bersifat khusus atau umum, tendensi agama atau duniawi atau kehidupan sehari-hari di rumah atau interaksi beliau sebagai suami atau ayah dalam keluarga. Seperti ungkapan Ubadah Ibn Akhzhar yang diriwayatkan oleh Tabrani :
كان إذا اخذ مضجعه قرآ قل يا ايها الكافرون
Apabila hendak tidur, Rasulullah membaca al kafirun.

Para ulama usul fiqh berpendapat bahwa tidak melakukan suatu perbuatan pada hakikatnya adalah suatu ‘perbuatan’. Apabila Nabi meninggalkan melakkukan sesuatu, itu merupakan salah satu Hadits Nabi yang patut diteladani. Ini pula yang mendorong Abu Bakar berfikir sejenak tentang ide pengumpulan Al Quran, sebagaimana diusulkan Umar. Abu Bakar berkata; ”bagaimana aku melakukan suatu perbuatan padahal sebelumnya tidak pernah dilakukan Rasulullah”. Meski demikian Abu Bakar kemudian menyetujui setelah Umar tak henti-hentinya berupaya meyakinkan tentang kemaslahatan umat Islam dikemudian hari.

c. Persetujuan atau Taqrir Nabi
Apabila melihat, mendengar, mengetahui sesuatu kemudian RasuluLlah diam saja dan tidak mengingkarinya maka disebut taqrir. RasuluLlah tidak mungkin mendiamkan suatu kebatilan atau mengabaikan terjadinya kemungkaran.

Dengan demikian, apa saja yang didiamkan oleh RasuluLlah bisa menimbulkan hukum mubah yang tidak berdosa bila dikerjakan. Ibn Hazm beralasan bahwa Allah mewajibkan RasuluLlah untuk menyampaikan risalahNya. Rasul dijaga dari kesalahan sebagai seorang manusia.
Taqrir RasuluLlah tidak sebatas diam saja, bahkan lebih dari itu senyum, eksperesi bahagia, dan lainnya juga mengindikasikan iqrar RasuluLlah. Sebagaimana contoh :

عن عَمْرِو بنِ الْعَاصِ ، قال: «احْتَلَمْتُ في لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ في غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاسِلِ، فأشْفَقْتُ إنْ أغْتَسِلَت أن أهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأصْحَابِي الصُّبْحَ، فَذَكَروا ذَلِكَ لرسولِ الله صلى الله عليه وسلّم فقال: ياعَمْرُو صَلَّيْتَ بأصْحَابِكَ وَأنْتَ جُنُبٌ؟ فأخْبَرْتُهُ بالَّذِي مَنَعَنِي مِنَ الاغْتِسَالِ وَقُلْتُ: إنِّي سَمِعْتُ الله يقولُ {وَلا تَقْتُلُوۤا أَنفُسَكُمْۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا} فَضَحِكَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلّم وَلَمْ يَقُلْ شَيْئاً».

Diriwayatkan dari Amr Ibn Ash, dia berkata : “saya mimpi basah dimalam yang sangat dingin pada perang Dzat al Salasil, saya merasa tidak kuat menahan dingin bila harus mandi, maka kemudian saya bertayamum dan shalat subuh dengan para sahabat. Sahabat kemudian melaporkan hal ini kepada Rasul, kemudian beliau bertanya : “Ya Amr, apakah kau shalat dengan para sahabat sementara kau dalam keadaan junub?” kemudian saya menyampaikan kepada beliau tentang apa yang mencegah mandi besar. Kemudian saya berkata: “sesungguhnya saya mendengar Allah berfirman “janganlah engkau membunuh dirimu sendiri sesungguhnya Allah Maha sayang padamu.”” Nabi kemudian tersenyum dan tidak berkata apapun.
Senyum Nabi dalam contoh ini menunjukkan penetapan Nabi terhadap ijtihad Amr Ibn Ash.

d. Sifat atau Karakter Nabi
Ulama Hadits menyatakan bahwa sifat Nabi termasuk salah satu bentuk Hadits atau Sunnah, baik berupa akhlak atau keadaan fisik. Sebagaimana Hadits riwayat Aisyah :
عن سعد بن هشام قال: سألت عائشة فقلت: أخبريني عن خُلُق رسول الله صلى الله عليه وسلّم، فقالت: كان خُلُقه القرآن.
Diriwayatkan dari Sa’ad Ibn Hisyam, dia berkata: “aku bertanya kepada Aisyah,“kabarkan padaku tentang akhlak RasuluLlah” Aisyah menjawab : “Akhlak Rasul adalah al Quran.”

e. Perjalanan Hidup Nabi
Selain Hadits itu bisa berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat atau karakter Nabi, perjalanan hidup Nabi juga termasuk di dalamnya. Sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul sekalipun seperti sejarah kelahiran, penyusunan, pertumbuhan, diangkat menjadi Rasul dan hal lain yang tidak bisa diketahui apabila hanya mengandalkan perkataan Nabi sendiri, seperti beliau wafat, pengurusan jenazah hingga dikebumikan, seperti Hadits riwayat Muslim :
كان لرسول الله صلي الله عليه وسلم مؤذنان بلال وابن أم مكتوم الأعمي
RasuluLlah mempunyai dua muadzin yaitu Bilal dan Ibn Ummi Maktum yang buta.

Pengertian Ilmu Hadits
Kata ilmu Hadits berasal dari bahasa Arab ilm al Hadits, yang terdiri atas kata ilm dan al Hadits. Secara etimologis, ilm berarti pengetahuan. Jamaknya ulum, yang berarti al-yaqien (keyakinan) dan al-makrifah (pengetahuan). Menurut para ahli kalam (mutakallimun), ilmu berarti keadaan tersingkapnya sesuatu yang diketahui (objek pengetahuan). Tradisi di kalangan sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.

Sementara pengertian Hadits telah dijelaskan secara panjang lebar sebelum sub bab ini. Bila di-idlafah-kan (dibuat kata majemuk) ilmu Hadits menurut ulama mutaqaddimin, adalah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ اتَّصَالِ الأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَيْثُ مَعْرِفَةِ أَحْوَالِ رُوَّاتِهَا ضَبْطًا وَعَدًالَةً ومِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِ اتِّصَالاً وَ انْقِطَاعًا
Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW dari segi ihwal para perawinya, ke-dhabit-an, keadilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya.
Dari segi penyebutan, ada ulama yang tidak menggunakan istilah ilm tetapi menggunakan bentuk jamak dari ilm yaitu ulum sebagaimana Ibn Shalah (1246M) yang memberi judul kitabnya Muqaddimah Ulum al Hadits.

Dalam perkembangan selanjutnya, mutaakhirin membagi ilmu Hadits menjadi dua, yaitu ilmu riwayah dan ilmu dirayah. Ilmu yang spesifik membahas Riwayat, adalah ilmu yang mencakup metode pengambilan pernyataan, perilaku, Nabi, riwayat Hadits, kriteria periwayatan, dan penulisan Hadits. Sementara ilmu yang spesifik pada Pembahasan Dirayah adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui hakekat riwayat, syarat, macam, hukum riwayat, keadaan periwayatan, syarat-syarat periwayatan, tingkatan riwayat dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Dari definisi diatas, maka dirumuskan bahwa Ilmu Hadits Dirayah lebih bersifat teori karena terikat kepada kaidah-kaidah tertentu, sementara Ilmu Hadits Riwayat lebih bersifat praktek karena ia lebih terikat dengan hal penerimaan dan penolakan Hadits.

Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah tumbuh ilmu-ilmu baru dalam ruang lingkup Ulum al Hadits diantaranya adalah :

a. Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang membahas para perawi Hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh Hadits dan kepada siapa saja mereka menyampaikan Hadits.

b. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.

c. Ilmu Mukhtalaf al-Hadits wa Musykil Hadits
Ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara Hadits-Hadits yang dzahirnya bertentangan dan menerangkan ta’wil Hadits yang Nampak janggal meskipun tidak bertentangan dengan Hadits lain.

d. Ilmu `Ilalil Hadits
Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang tidak nyata yang dapat mencacatkan Hadits. Seperti me-muttasil-kan (menyambung Hadits) yang munqathi’(terputus sanadnya), me-marfu’-kan (menyandarkan kepada Nabi SAW) Hadits yang mauquf(tidak sampai kepada Nabi SAW atau terhenti pada sahabat), memasukkan suatu Hadits kedalam Hadits lain, mencampuraduk- kan sanad dengan matan atau yang lainnya.

e. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan-matan Hadits yang sulit lagi sukar difahami disebabkan karena jarang sekali digunakan. Obyek dari ilmu gharibul Hadits adalah kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat yang sulit difahami maksudnya. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak menafsirkan secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat orang yang bukan ahlinya.

f. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Ilmu nasikh dan mansukh Hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-Hadits yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum Hadits yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.

g. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu Hadits ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada Hadits yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan.

h. Ilmu Mushthalah Hadits
Ilmu musthalah Hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya. Obyeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya. Manfaat ilmu ini adalah membedakan Hadits shahih dari yang tidak shahih.

Bila ditinjau dari aspek epistemologis, maka pembahasan Ulum Hadits ditujukan untuk menjawab apa saja yang dipelajari secara mendalam dan hal-hal yang terkait dengan Hadits-Hadits. Dengan begitu, maka secara ontologis dan epistemologis, Ulum al Hadits merupakan suatu cabang ilmu yang memberikan penjelasan tentang Hadits-Hadits Nabi, secara rasional dan terbukan sehingga tidak diragukan keontetikannya.


BAB II
Sejarah Munculnya Ilmu Hadits dan Perkembangannya

Munculnya Hadits Palsu
RasuluLlah adalah panutan, apa yang disampaikan beliau adalah sumber hukum yang harus dipatuhi oleh setiap muslim. Karenanya cukup masuk akal bagi mereka yang kurang iman, memalsukan sesuatu untuk dinisbatkan kepada RasuluLlah untuk tujuan tertentu.
Pemalsu-pemalsu Hadits ini menurut Azami adalah kelompok ahl bid’ah, orang yang negaranya ditaklukkan Islam, dan orang Muslim sendiri yang buta huruf.

Azami kemudian membagi mereka ini dalam dua katagori pemalsuan Hadits :
a. Pemalsuan disengaja, Haditsnya otomatis disebut maudlu’
b. Penyandaran Hadits palsu secara tak sengaja kepada RasuluLlah karena kekeliruan, baik atas kecerobohan atau murni khilaf seperti kekeliruan menisbatkan atsar shahabah sebagai Hadits yang bersumber dari Nabi.

Sementara Idri secara rinci mengungkapkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya pemalsuan Hadits adalah :
a. Pertikaian politik
b. Siasat musuh-musuh Islam
c. Primordialisme dan chauvinism
d. Fanatisme madzhab fiqh dan kalam
e. Kultus individu
f. Pembuatan cerita
g. Pendekatan pada penguasa
h. Keinginan berbuat baik tanpa dasar pengetahuan agama.

Faktor-faktor yang diungkap Idri ini dalam katagorisasi Azami termasuk pemalsuan Hadits yang disengaja.Salah contoh hadits palsu akibat primordialisme, diskriminasi antara bangsa Arab dan non Arab oleh Daulah Umayyah adalah:
إنَّ الكلام الذين حول العرش بالفارسية
sesungguhnya pembicaraan orang-orang sekitar Arsy menggunakan bahasa persia.

Ahmad Amin (1954) sebagaimana dikutip Idri berpendapat bahwa pemalsuan Hadits telah ada saat Rasulullah masih hidup dengan argumentasi Hadits :
من كذب علي فليتبواء مقعده من النار
Barangsiapa dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.
Namun pendapat Amin ini tidak didukung oleh data-data Hadits yang telah dipalsukan sehingga pendapatnya hanya didasarkan pada dugaan tersirat dari Hadits tersebut.

Shalah al Din al Adhabi menyatakan bahwa jika yang dimaksud pemalsuan itu termasuk kedustaan yang disandarkan pada RasuluLlah pada masalah duniawi sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafik, tentu pendapat Ahmad Amin dapat dibenarkan. Dukungan Shalah ini didasarkan atas Hadits riwayat al Thahawi (933M) dan al Thabrani (971M) yang menceritakan tentang perilaku seseorang yang mengaku diutus oleh RasuluLlah pada suatu komunitas di dekat kota Madinah untuk membuat keputusan hukum untuk mereka sesuai dengan pendapatnya sendiri. Tetapi bila yang dimaksud pemalsuan itu adalah praktik memasukkan berbagai kebohongan dalam Hadits Nabi, maka Shalah al Din al Adhabi menyepakati pendapat jumhur ulama yang menyatakan pemalsuan Hadits itu terjadi pada masa Ali Ibn Abi Thalib (35-40H).

Menurut data sejarah, munculnya Hadits-Hadits palsu ini telah mencapai klimaknya pada abad III Hijriyah. Atas kasus ini, maka ulama Hadits menyusun berbagai kaidah dalam ilmu Hadits yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian Hadits yang kemudian disebut Ulum Hadits.
Upaya menghindarkan diri agar tidak terjebak pada kajian Hadits palsu, sebenarnya telah dirintis oleh para Sahabat.

Sejarah Pertumbuhan Ilmu Hadits
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa metode pemakaian riwayat dengan sanad sebagai salah satu hasil produk kajian ilmu Hadits, sebenarnya telah ada sejak sebelum masa Islam. Namun tidak begitu jelas sejauh mana metode itu dipergunakan. Hal ini antara lain terdapat dalam kitab Yahudi Misna. Selain itu, sistem isnad juga telah biasa digunakan dalam penukilan-penukilan syair-syair Jahiliyah.

Fakta sejarah ini adalah budaya Arab yang sangat bermanfaat bagi upaya pelestarian dan penjagaan terhadap otentitas Hadits. Budaya Arab yang menjadi obyek kajian dalam ilmu Hadits ini tumbuh subur pada masa RasuluLlah sendiri. Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri seperti Umar Ibn Khattab yang membagi tugasdengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Bila tetangga Umar hari ini menemui Nabi, maka Umar datang pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas.

Fakta sejarah diatas kemudian menjadi obyek kajian ilmu Hadits yang tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan periwayatan dan penukilan Hadits di kemudian hari. Kendati secara empiris, salah satu obyek kajian Ilmu Hadits telah dipraktekkan sahabat di masa Rasulullah, bahkan sebelum Islam datang. Namun sebagai embrio ilmu, muncul sejak RasuluLlah wafat. Saat itu para sahabat berupaya memperhatikan pengumpulan Hadits-Hadits agar tidak tersia-siakan. Mereka berusaha keras menjaga, menukil, menghafal dan menulis Hadits.

Idri menjelaskan sejarah pertumbuhan ilmu Hadits ini dengan melakukan periodisasi masa-masa pertumbuhan kajian ilmu Hadits.

a. Masa Sahabat
Pada periode sahabat, meski belum terkodifikasi dengan baik, ilmu Hadits mulai dikenal dalam bentuk sederhana. Periode ini para sahabat sudah mengenal istilah Hadits maqbul dan Hadits mardud. Ilmu Hadits pada masa sahabat ini ditandai dengan usaha-usaha sahabat dalam menjaga Hadits dengan berbagai langkah seperti :
1. Tidak memperbanyak periwayatan Hadits,
2. Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan Hadits,
3. Melakukan kritik terhadap Hadits yang diriwayatkan dengan alat ukur nash-nash dan kaidah-kaidah agama.

b. Masa Penyempurnaan
Masa penyempurnaan ilmu Hadits yang dimulai sejak awal abad II sampai awal abad III Hijriyah. Penyempurnaan dilakukan berdasarkan beberapa alasan diantaranya:

1. Semakin melemahnya kemampuan hafalan umat Islam,
2. Semakin panjang dan bercabangnya sanad,
3. Munculnya sekte-sekte menyimpang yang menuntut adanya kajian keilmuan.

Demi menjaga keotentikan Hadits dalam periode ini mulai dilakukan beberapa langkah seperti upaya kodifikasi Hadits, memperluas cakupan al jarh wa ta’dil, menunda menerima Hadits dari orang yang tidak dikenal, meneliti dan membuat kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas Hadits. Pada masa tabiin ini, cikal bakal ilmu Hadits menadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri dengan ditetapkannya dasar-dasar ilmu Hadits oleh Muhammad Ibn Shihab al Zuhri (51-124H) dalam kapasitasnya sebagai ahli dan penghimpun Hadits pada masa khalifah Umar Ibn Abd al Aziz (99-101H).

c. Masa Pembukuan Ilmu Hadits
Masa pembukuan ilmu Hadits secara independen dimulai sejak abad III sampai pertengahan abad IV Hijriyah. Pada masa ini masing-masing ilmu Hadits telah menjadi ilmu spesifik seperti ilmu tentang Hadits mursal, Hadits sahih dan lain-lain. Adapun orang pertama yang menyusun kitab Ulum al Hadits secara sistematis adalah Abu Muhammad al Ramahurmuzi (360H).

d. Masa Penyusunan Ilmu Hadits
Masa penyusunan ilmu Hadits secara komprehensif dan melimpahnya kegiatan pembukuan Hadits. Masa ini dimulai sejak pertengahan abad IV sampai abad VII Hijriyah. Pada masa inilah ulama giat melakukan penyusunan ilmu Hadits sebagaimana pendahulu mereka, kemudian mengumpulkan sesuatu yang berbeda ke dalam satu bidang dan menyisipkan apa yang belum diungkap atau dibahas.
Diantara ulama-ulama yang ikut meramaikan penyusunan Ulum al Hadits pada abad ini sejak awal abad IV adalah al Hakim Muhammad Ibn Abdillah al Naysaburi, Abu Nuaim al Asbahani, al Khatib dan segenerasinya. Kitab-kitab yang mereka tulis, menjadi panduan oleh muhadditsin sesudahnya yang menyusun Ulum al Hadits.

e. Masa Penyempurnaan
Periode ini diawali sejak abad VII sampai X Hijriyah. Pada masa ini meskipun ilmu Hadits sudah mapan, tetapi banyak ulama yang melakukan ijtihad dalam menetapkan dan merumuskan kaidah-kaidah ilmiah ilmu Hadits, bahkan dari ijtihad mereka tersebut ada berbeda dengan ketentuan ilmu Hadits yang sudah mapan tadi.
Pada periode ini pusat kegiatan perkembangan Ulum al Hadits berada di Mesir dan India. Dalam masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpun gdalam bidang Hadits hingga kitab-kitab Ulum Hadits kemudian diterbitkan berkat jasa mereka.
Pada masa ini, ulama dari Indonesia yang juga menulis dibidang ilmu Hadits ini adalah Muhammad Mahfudz al Termasyi. Dia menyusun kitab Manhaj Dzawi al Nadzar.

f. Masa Statis
Sejak abad X Hijriyah kreatifitas dan aktifitas ijtihad terhenti, baik dalam penyusunan apalagi masalah-masalah ilmiah ilmu Hadits. Kegiatan yang ada terbatas pada peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiah.

Demikianlah Ulum al Hadits terus berkembang dan dipelajari banyak orang. Meskipun terjadi perubahan-perubahan dalam sitematikanya dan metode penulisannya, namun tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama yang merintisnya. Perubahan sistematika dan metode penulisannya berkaitan erat dengan proses perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan manusia kepadanya.

Di masa sekarang ini, kajian secara bekesinambungan terhadap Hadits dengan media pengembangan ilmu Hadits sangat dibutuhkan. Fenomena kelompok Ingkar Sunnah yang sudah ada sejak zaman Abbasiyah, kelompok yang memahami Hadits secara tekstual tanpa melihat asbab nuzul dan kajian melalui tolok ukur ilmu Hadits secara mendalam, cukup sebagai alasan untuk menghidupkan kajian-kajian Hadits ditengah-tengah masyarakat.

Fenomena pembakaran pilot Yordania oleh gerakan separatis Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) dengan dalih Hadits Nabi riwayat Tabrani dari Abdullah Ibn Amr Ibn Ash yang memerintahkan membakar orang munafik yang mengaku-aku diperintah RasuluLlah kepada suatu kaum untuk menetapkan suatu hukum, tentu sangat mengganggu prinsip Islam yang senantiasa menjaga dloruriat al khams. Maka tentu butuh kajian yang sangat mendalam untuk mengurai dan menkontekstualkan hadits tersebut.

Penutup

Kajian ilmu Hadits secara mendalam banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin. Sementara dari Hadits dan al Quran itu hukum agama Islam bersumber. Sebagai sumber ajaran Islam, Hadits harus senantiasa dijaga keotentikannya. Dewasa ini tidak sedikit kajian Hadits hanya digunakan untuk pembelaan diri terhadap saudara muslim yang lain.
Makalah ini tentu tidak cukup untuk mengungkap sejarah perkembangan ilmu hadits secara keseluruhan. Tetapi setidaknya bisa menjadi stimulan bagi pembaca untuk mengkaji lebih dalam materi ini. Wallahu a’lam

DAFTAR PUSTAKA

  1. Khalid Abdurrahman al Ik, usul al tafsir wa qawaiduh, 1986, Daar Nafais, Beirut,
  2. Sanusi, Masa Depan Hadis dan Ulum Hadis, Jurnal al Hikmah Volume XIV Nomor 2/2013
  3. Subhi Shaleh, Ulumu al Hadits wa Mustalahuh,1998, Daar al Ilm al Malayin, Beirut,
  4. Yusuf Qardlawi, al Madkhal li Dirasah al Sunnah al Nabawiyah,1991, terjemah Agus Suyadi Raharusun, Pengantar Studi Hadits, 2007, CV. Pustaka Setia, Bandung,
  5. Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari,tt, Toha Putra, Semarang,
  6. Abu Dawud Sulaiman Ibn al Ash’ats, Sunan Abu Dawud, tt, Daar al Ihya al Turats al Araby, Beirut,
  7. Al Zuhd Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al Imam Ahmad,1993, Daar al Ihya al Turats al Araby, Beirut
  8. Dr.Idri, M.Ag, Studi Hadis, 2010, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
  9. Jalal al Din Abd al Rahman Ibn Abi Bakr al Suyuthi, Tadrib al Rawi fi Syarh Taqrib al Nawawi,1415 H, Beirut, Maktabah al Kautsar,
  10. Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Pustaka Al Kautsar,
  11. MM Azami MA, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits Telaah Metodologi dan Literatur Hadits, 2003, Lentera, Jakarta,
  12. Khoirul Hadi, Pemikiran Joseph Schacht Terhadap Hadits, Jurnal Kontemplasi Vol 1 No.2 Nopember 2013,



Share this article :

0 komentar:

PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH

SIMBI
Sistem Informasi Manajeman Bimas Islam

instagram

Instagram


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KUA KEC. SUKUN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger