pengajian munakahat

Home » » Piagam Madinah, Kontroversi Sanad dan Pintu Peradaban Modern

Piagam Madinah, Kontroversi Sanad dan Pintu Peradaban Modern

Written By Unknown on Senin, 06 April 2015 | 13.53





Kata Pengantar


Piagam Madinah merupakan produk fenomenal dalam sejarah dunia. Piagam Madinah merupakan suatu nama yang diatributkan pada Piagam tertulis yang disepakati antara Rasullullah SAW sebagai pemimpin besar umat Islam, yang saat itu baru saja tiba di Madinah (Yatsrib), dengan para petinggi kaum Yahudi yang faktualnya merupakan penduduk mayoritas disana disamping berbagai macam aliran aqidah lain yang minoritas. Kurang lebih, demikianlah Piagam Madinah kala itu, sebuah Piagam yang memiliki arti dan peranan besar bagi kelangsungan hidup Umat Islam yang baru akan memulai babak baru fase perjuangan mereka.


Piagam tersebut diantaranya mengatur bagaimana seharusnya sebuah komunitas yang satu dalam suatu wadah yang bernama Yatsrib dapat menyikapi berbagai perbedaan yang mereka miliki, dan kemudian bersinergi secara harmonis dan konstruktif dalam menjaga keamanan, kestabilan serta tentunya kemakmuran negeri Yatsrib. Diantara perbedaan yang sangat kentara adalah dalam hal aqidah atau keyakinan, sesuatu yang sampai sekarang ini oleh sebagian kalangan masih dianggap sebagai akar berbagai permasalahan sosial yang terjadi di pelosok dunia. Piagam Madinah adalah sebuah loncatan besar pemikiran modern yang dibuat oleh Muhammad sebagai perwakilan dunia timur di saat bangsa barat berkutat dalam abad kegelapan yang berkepanjangan. Bahkan piagam ini secara argumentatif telah dapat diduga sebagai konstitusi atau undang-undang dasar tertulis pertama di dunia dengan berbagai kelebihan yang salah satunya: sebagai naskah tertulis pertama yang mengakomodasi hak-hak dasar atau asasi manusia (HAM) terutama dalam kebebasan memilih agama.


Anehnya Piagam yang sangat fenomenal ini ternyata menyisihkan sedikit masalah dari sisi periwayatannya. Makalah yang ditulis untuk memenuhkan tugas mata kuliah Studi Peradaban Islam disamping akan mengungkap sedikit banyak tentang pandangan para ahli terkait Piagam Madinah ini, juga diawal pembahasan akan sedikit dipaparkan tentang sanad riwayat haditsnya.


Bab I


Sanad dan Sejarah Penyusunan Piagam Madinah






Tinjauan riwayat Hadits Tentang Piagam Madinah


Sanad dalam periwayatan hadits berada pada posisi yang sangat penting untuk menghindarkan terjadinya pemalsuan hadits. Rasulullah sendiri telah memberi peringatan :


لا تَكذِبوا عَلَيَّ، فإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النارَ


Jangan membohongkan diriku, sesungguhnya barang siapa berbohong atasku maka bersiaplah mengarungi api neraka.[i]





Sanad adalah sesuatu yang bersifat eksternal atau di luar matan hadis. Berita tentang cara yang menyambungkan antara kita dengan matan hadis, maka sudah barang tentu keberadaannya sangat penting. Dengan demikian mustahil mendapatkan hadis tanpa melalui sanad. Muhammad Ibn Sirrin menyatakan bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama, karenanya harus berhati-hati mencari sumber agama.[ii] Rentang waktu kodifikasi hadist dengan masa Rasulullah menyampaikan sesuatu yang sangat lama, memang menuntut adanya sanad yang jelas agar tidak terjadi penipuan atau pemalsuan data. Melihat betapa pentingnya Piagam Madinah dari sisi sejarah konstitusi, maka menjadi keharusan bagi setiap yang menelitinya untuk melihat penjelasan ahli hadits tentang kuat atau lemahnya derajat sanad haditsnya. Anehnya Piagam Madinah ini tidak diriwayatkan oleh perawi besar dalam shahihnya.






Muhammad Ibn Ishaq (151H) adalah orang pertama yang meriwayatkan hadits tentang Piagam Madinah dengan nash yang sempurna, tetapi riwayat yang disampaikannya tidak menggunakan sanad. Ibn Sayid an Nas dan Ibn Katsir juga meriwayatkan Piagam Madinah ini dari Muhammad Ibn Ishaq mengabaikan sanad pula. Tetapi Ibn Sayid an Nas menuturkan bahwa Ibn Aby Khaitsam meriwayatkan nas Piagam Madinah ini dengan sanad sebagai berikut Ahmad Ibn Khabab Abu al Walid dari Isa Ibn Yusuf dari Katsir Ibn Abdillah Ibn Amr Al Muzni dari Bapaknya dari Kakeknya bahwa Rasulullah menulis risalah antara Muhajirin dan Anshar kemudian menuturkan Piagam Madinah secara lengkap seperti yang diriwayatkan Ibn Ishaq.[iii]


Ibn Sayid an Nas mengungkapkan bahwa Katsir Ibn Abdullaah Ibn Amr al Muzni mendapatkan periwayatan Hadits ini ayah kemudian kakeknya. Tetapi Ibn Hibban al Basty mengomentari bahwa jalur periwayatan dari Katsir al Muzni dari ayah kemudian kakeknya ini maudlu’ (palsu) yang tidak diperkenankan dinukil dalam periwayatan kecuali hanya untuk mengungkapkan keheranan saja. Sementara Ibn Ishaq sebagaimana dinyatakan al Ash menyandarkan periwayatan dari Katsir tetapi sengaja memotong jalur sanadnya. Tidak ada periwayatan hadits Piagam Madinah kecuali dari Ibn Ishaq.[iv]


Pernyataan al Ash tentang tidak ada periwayatan Piagam Madinah selain dari Ibn Ishaq dan katsir ini tertolak karena Aba Ubaid al Qasim Ibn Salam meriwayatkan hadist ini dengan sedikit perbedaan nash dari jalur az Zuhri dari jalur terpisah yang tidak bersambung sama sekali dengan Katsir al Muzni.


Ibn Ishaq sendiri adalah tokoh sejarawan yang terkenal dan terkemuka dalam sejarah Islam. Dia adalah tokoh yang merintis sistem penyusunan sejarah yang lebih sistematik. Penulisan sejarah yang digagas oleh Ibn Ishaq lebih universal dan konprehensif. Al Mubtada’ wa al Mab’ath wa al Maghazi memperlihatkan hasil pemahaman sejarah yang sangat luas disbanding karya-karya sebelum atau sezamannya. Kehebatannya dalam menyusun sejarah ini Ibn Ishaq mendapat pengakuan dari Muhammad Ibn Muslim al Zuhri dan Muhammad Ibn Idris al Syafii meski banyak dikritik sebagian ulama hadits. Sulayman al Taymy dan Wuhayb Ibn Khalid bahkan menyatakan bahwa Ibn Ishaq adalah sosok pembohong.[v]


Tidak semua mengkritik Ibn Ishaq, Al-Bukhari yang dalam Jarh wa Ta’dil paling ketat berpendapat bahwa Ibn Ishaq:


رأيت علي بن عبد الله يحتج بحديث ابن اسحاق


“Saya telah melihat (mendapati) Ali Ibn Abdullah berhujjah dengan hadits Ibn Ishaq.


Selain itu, Al-Bukhari juga berkata,


وقال لي إبراهيم بن حمزة : كان عند إبراهيم بن سعد عن ابن اسحاق نحو من سبعة عشر ألف حديث في الأحكام سوي المغازي


Ibrahim Ibn Hamzah telah berkata kepada saya: “riwayat Ibrahim Ibn Sa’ad yang didapat dari Ibn Ishaq adalah sebanyak tujuh belas ribu hadits yang berkaitan dengan hukum dan peperangan.”[vi]






Memang cukup mengherankan bila Piagam yang sangat penting ini tidak ada riwayat shahih hadits ataupun dalam kitab-kitab fiqh, hingga Yusuf al Ash menganggap Piagam yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah ini haditsnya maudlu’.[vii] Tetapi secara terpisah point-point dari Piagam Madinah ini diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dalam berbagai bab yang berbeda dan sanad yang berbeda dari riwayat Ibn Ishaq. Para fuqaha juga berhujjah dalam mengambil hukum dengan hadits-hadits yang menjadi bagian dari Piagam Madinah itu. Apakah Ibn Ishaq mengumpulkan riwayat-riwayat yang terpisah dan kemudian menuliskannya secara rinci? Aunur Rafiq menjelaskan bahwa tidak ada sumber yang menyatakan bahwa dokumen Piagam Madinah ditulis secara terpisah, kemudian setelah itu dikumpulkan.[viii] Kalaupun secara rinci tersusun pointer dalam Piagam Madinah tidak bisa digunakan sebagai hujjah hukum, tetapi tetap dapat digunakan sebagai dasar pijakan sejarah karena sejarah tidak terlalu membutuhkan derajat sanad yang sahih sebagaimana yang dituntut dalam penetapan hukum syariah.[ix] Disamping itu posisi Ibn Ishaq sebagai murid az Zuhri menguatkan dugaan bila dia mendapatkan periwayatan hadits dari gurunya itu.


Disisi lain, hadits-hadits yang menjelaskan tentang kandungan Piagam Madinah terdapat dua belas jalur periwayatan. Delapan jalur menunjukkan kesahihan periwayatan. Sebab para perawinya tergolong tsiqqah. Kecuali beberapa orang yang masih diperselisihkan ke-tsiqqah-annya seperti Ibrahi al Taymi dalam riwayat Bukhari, Hujjaj Ibn Urtah dalam riwayat Ahmad.[x]


Jalaluddin al Suyuthi, menyatakan kelemahan riwayat beberapa rijalul hadits ini tidak terlalu berpengaruh karena riwayat yang lain mendukung kesahihannya dan saling menguatkan hingga derajat hadits tentang Piagam Madinah ini bisa diangkat menjadi shahih lighairih.[xi]






Lintas sejarah Piagam Madinah


Terbentuknya Piagam Madinah diawali oleh pertemuan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dengan enam orang dari suku Khajraj, Yatsrib di Aqabah, Mina yang datang ke Mekah untuk menunaikan haji. Selanjutnya, keenam tamu dari Yatsrib itu masuk Islam; bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kepada Nabi mereka menceritakan keadaan Yatsrib, bahwa kehidupan di sana selalu diresahkan dengan permusuhan antargolongan dan antar suku, khususnya suku Khajraj dan suku Aus, dan mereka mengharapkan semoga Allah mempersatukan golongan-golongan dan suku-suku yang selalu bertikai itu melalui perantaraan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Kemudian mereka berjanji untuk mengajak penduduk Yatsrib lainnya masuk Islam.


Pada musim haji tahun kedua belas kenabian atau bulan Juli 621M datang dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib menemui Nabi di Aqabah. Mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan muhammad adalah utusan Allah. Selain itu mereka juga berjanji kepada Nabi bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, berbuat zina, tidak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi. Bai’at ini selanjutnya disebut dengan Bai’at Aqabah Pertama.[xii]


Setahun kemudian, pada bulan Juni 622 M bertepatan dengan bulan dzulhijjah tujuh puluh orang Yatsrib yang telah masuk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi untuk berhijrah ke Yatsrib dan mereka menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam adalah nabi mereka dan pemimpin mereka. Pertemuan ini juga dilaksanakan di Aqabah. Mereka mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, dan akan membela Nabi sebagaimana mereka membela anak dan isteri mereka. Nabi juga akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan sahabat-sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini dikenal dengan Baiat Aqabah Kedua. Baiat ini memantapkan Nabi untuk kemudian mengarahkan dakwahnya ke Yatsrib atau kemudian lebih dikenal dengan Madinah.


Piagam Madinah (watsiqah) sebenarnya merupakan dua Piagam yang kemudian dijadikan satu. Piagam yang pertama dihasilkan dari pertemuan Rasulullah dengan kaum yahudi sebelum terjadinya perang Badar dan Piagam yang kedua terjadi antara kaum muhajirin dan al anshar setelah perang badar .[xiii]


Menariknya, mengutip dari Tarikh al Rusul wa al Muluk karya al Thabari juz 2 halaman 479, Dr. Akram Diya’ Umary menyatakan bahwa Piagam antara kaum muslimin dan yahudi ini dilakukan sebelum Islam banyak dikenal dan kaum muslimin cukup kuat. Dengan demikian dapat disimpulkan Piagam antara kaum yahudi dan kaum muslimin ini tidak dalam posisi satu kelompok dalam tekanan kelompok yang lain, apalagi Piagam Madinah ini ditetapkan sebelum adanya perintah penarikan jizyah (pajak) bagi ahli kitab.[xiv]


Orang Arab baik di Makkah maupun Madinah pada masa itu tidak mengenal sistem politik sehingga konflik di antara suku-suku tidak dapat dihindari. Konflik antar suku terjadi karena pola struktur masyarakat Arab berdasarkan organisasi klan yang seluruh anggota keluarga di dalam suku tersebut diikat oleh pertalian darah.[xv]


Penduduk Madinah sendiri pasca hijrah dapat diklasifikasikan ke dalam empat golongan besar yaitu golongan Muhajirin, golongan Anshar orang-orang Arab yang masih musyrik, dan orang-orang Yahudi. Mengutip Madjid Khadduri dalam al Siyasah al Syar’iyah, Musdah Mulia mengungkapkan adanya sejumlah tulisan yang menceritakan betapa majemuknya penduduk Madinah pada masa awal datangnya Rasulullah ke Madinah.[xvi] Kemajemukan penduduk Madinah ditambah dengan sebagian yang tidak senang kedatangan Nabi, hakekatnya mereka merindukan adanya suatu kehidupan damai dan tenteram. Mereka juga mendambakan hadirnya seorang pemimpin yang dapat mempersatukan mereka. Dengan demikian hijrah dan Piagam Madinah atau Shahifah al Watsiqah yang digagas Nabi Muhammad pada tahun pertama Hijrah ini sangat bermanfaat bagi tonggak kehidupan bermasyarakat yang damai.[xvii]






Teks Piagam Madinah


Merunut dari pembahasan sebelumnya, teks Piagam Madinah tercecer sesuai topiknya dibeberapa nash hadits shahih. Tetapi Muhammad Ibn Ishaq yang kemudian dirujuk oleh Ibn Hsyam meriwayatkan meski dengan sanad yang tidak jelas atau dibawah standar keharusan sanad dengan cara tersusun dalam satu kesatuan teks. Teks Piagam Madinah yang diriwayatkan dalam satu susunan sebagaimana dijelaskan sebelumnya terdapat dua versi; yaitu versi Ibn Ishaq atau Ibn Hisyam. Versi kedua diriwayatkan oleh Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam.[xviii]


Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam dalam kitabnya al Amwal juga meriwayatkan Piagam Madinah ini Yahya Ibn Abdullah Ibn Bukhair, namun tidak berbeda dengan Ibn Ishaq, tidak sedikit ulama yang melontarkan celaan kepadanya, yaitu berkaitan dengan riwayat yang bersumber dari al Laith Ibn Saad. Bagaimanapun sebagian ulama menganggap lemah riwayat Ibn Salam ini. Sehingga riwayat tersebut tidak boleh diterima.[xix]


Biasanya, teks surat atau Perjanjian yang dilakukan Rasulullah ringkas dan padat, sedangkan kalimat dalam Perjanjian atau yang lebih dikenal dengan Piagam Madinah ini tidak seperti biasanya, panjang lebar sehingga terkesan kontradiktif dengan uslub nabawi.


Terlepas dari kontroversi sanad hadits Piagam Madinah ini, Dr. A.J. Wensinck kemudian memisah-misah teks itu dalam beberapa pasal, sebagaimana dituangkan dalam buku karyanya “Muhammad en de Joden te Medina.” Sebagaimana konstitusi kenegaraan, De. A.J. Wensinck memilah-milah dari pendahuluan, isi dan penutup.[xx]










BAB II


Kandungan Piagam Madinah


Sebagai sebuah Konstitusi, H. Zainal Abidin Ahmad berdasar metode W. Montgomery Watt mengelompokkan Piagam Madinah yang sudah dirinci dalam pasal-pasal kedalam bab-bab sesuai dengan topiknya sebagai berikut : [xxi]


a. Pendahuluan


b. BAB I Pembentukan Bangsa Negara : pasal 1


c. BAB II Hak Asasi Manusia : pasal 2-pasal 10


d. BAB III Persatuan Seagama : pasal 11-15


e. BAB IV Persatuan Segenap Warga : Pasal 16-23


f. BAB V Golongan Minoritas : Pasal 24-35


g. BAB VI Tugas Warga Negara : Pasal 36-38


h. BAB VII Melindungi Negara : Pasal 39-41


i. BAB VIII Pimpinan Negara : Pasal 42-44


j. BAB IX Politik Perdamaian : Pasal 45-46


k. BAB X Penutup : Pasal 47


KH. Saiful Islam Mubarak mengkatagorikan Piagam Madinah sebagai sebuah undang-undang dasar sebuah Negara yang dikelompokkan dalam 6 pokok bahasan :[xxii]


a. Makna umat dan hak warga negara


b. Tugas dan kewajiban warga negara


c. Supremasi hukum dan proses penerapannya


d. Kebebasan beragama dan keadilan hukum


e. Kewajiban antar sesama mukmin


f. Memelihara tanah air


Haikal sebagaimana dikutip Musdah Mulia menyatakan bahwa Piagam Aqabah dan Piagam Madinah adalah proses pendahuluan dari terbentuknya Negara Islam di Madinah di bawah pimpinan Nabi SAW.[xxiii] Haikal memandang Piagam Madinah sebagai dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang sejarah dan sekaligus membuktikan bahwa Muhammad bukan hanya seorang Rasul tetapi juga seorang negarawan. Pandangan Haikal ini menunjukkan persetujuan anggapan Piagam Madinah sebagai bagian dari konstitusi kenegaraan. Sementara Ibn al Muqaffa yang dikenal konstitusionalis pertama dalam Islam mengungkapkan bahwa konstitusi adalah ra’yu atau kumpulan pendapat manusia mengenai prinsip yang dijadikan dasar bagi Negara. Konstitusi harus bisa dirubah-ubah dan dapat diganti atau dihapuskan.[xxiv] Jadi jika Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad masih dipandang sebagai “hadits” dan dimasukkan dalam lingkungan “wahyu Tuhan”, maka belum bisa dikatagorikan sebagai konstitusi sebuah Negara.[xxv]


H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa kandungan Piagam Madinah pada hakikatnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politk bagi masyarakat Madinah, dan ini merupakan inisiatif Muhammad sendiri.[xxvi]


Berbeda dengan Gibb, Montgomery Watt menganggap Piagam Madinah cukup untuk dijadikan justifikasi bahwa dokumen tersebut menjadi sumber ide yang mendasari pembentukan Negara Islam pertama kali.[xxvii]


Secara historis, cikal bakal negara Islam, meski dalam bentuk yang sangat sederhana dan tidak tersebut secara yuridis formal, dapat dirunut sejak pasca lahirnya Piagam Hudaybiyah II atau lebih poluler dengan Piagam Madinah ini. Meskipun pendirian negara, termasuk agama negara, tidak diartikulasikan secara tegas oleh Nabi, persyaratan sebagai negara telah terpenuhi: wilayah, pemerintahan, rakyat, kedaulatan, dan konstitusi.[xxviii] Yang penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa tidak adanya penyebutan Negara Madinah pada saat itu sehingga banyak kalangan yang menyebut Piagam itu sebagai bentuk kerjasama antar berbagai elemen masyarakat di sebuah wilayah[xxix]. Inilah yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan dan bahan kajian untuk mencari formulasi apa yang disebut sebagai negara Islam.


Perdebatan panjang itu boleh jadi hanya berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan, negara manakah yang dapat disebut sebagai Negara Islam? Apakah Saudi Arabia, Iran, Pakistan, atau Sudan, yang merupakan representasi negara Islam? Atau, dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai universalitas Islam itu disebut sebagai Negara Islam?


Terlepas dari kontroversi tentang apakah Piagam Madinah layak disebut konstitusi dan apakah yang dibangun oleh Rasul pantas disebut sebuah Negara, Piagam Madinah telah memberikan ketenangan bagi seluruh penduduk kota. Semua golongan diberi kebebasan yang sama dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing.[xxx]






BAB III


Penutup






Kontroversi tentang sanad dan kelayakan Piagam Madinah sebagai bagian dari dasar-dasar konstitusi, tidak dapat mengelakkan bahwa Piagam Madinah telah memberikan dasar-dasar pembangunan relasi sosial yang sebelumnya tidak pernah ada di dunia Arab.


Setidaknya ada enam prinsip yang terkandung di dalam Piagam ini, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berfikir, perlindungan terhadap kehormatan manusia, perlindungan harta benda dan larangan tindakan kriminal.


Cara pandang yang berbeda-beda dalam membaca situasi Madinah dan Piagam Madinah pada zaman itu, menyebabkan Hampir tidak ada kesepakatan yang bulat di kalangan pakar politik Muslim modern tentang apa sesungguhnya yang terkandung dalam konsep negara Islam. Tapi ahli sejarah sepakat bahwa sejak keputusan hijrah Nabi ke Madinah, lahirnya Piagam Madinah hingga Islam menyebar ke berbagai daerah merupakan tonggak perubahan peradaban yang luar biasa dalam waktu yang sangat singkat.


Kajian yang sangat dangkal dalam makalah ini tentu terlalu berlebihan bila dianggap sempurna, tetapi setidaknya penulis berharap bisa menjadi stimulan untuk penelitian yang lebih lanjut untuk lebih mengungkap keagungan Islam dan Rasulullah.














[i] Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al Bukhari, Shahih al Bukhari, Daar al Nasr,1993, halaman 52


[ii] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet.2;Jakarta:BulanBintang,2007), halaman 22


[iii] Akram al Umary, Awwalu Dustur A’lanahu al Islam, tt, Jamiah Baghdad hal 37


[iv] Ibid halaman 38


[v] Wan Kamal Mujani, Pandangan Ulama Terhadap Karya dan Ketokohan Muhammad Ibn Ishaq, 1999, Jurnal Islamiyat edisi 20 Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia hal 28


[vi] Ahmad Saifuddin Yusof, Ibn Ishaq, Fakta & Analisis : Autoriti Ibn Ishaq Menurut Ulama’ Hadits, 2013, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya. Hal 42


[vii] Dr. Akram Diya’ Umary, Mujtama’ al Madany fi ahdi al Nubuwwah, 1983, al Mamlakah al Arabiyah al Suudiyah al Jaamiah al Islamiyah bi Madinah al Munawarah. Halaman 109


[viii] Aunur Rafiq,Tafsir Resolusi Konflik, 2011, UIN Maliki Press, Malang, Halaman 132


[ix] Ibid halaman 111


[x] Opcit, Halaman 143


[xi] Ibid, Halaman 144


[xii] http://majelispenulis.blogspot.com/2012/12/sejarah-piagam-madinah.html


[xiii] Opcit halaman 112


[xiv] idem


[xv] Musdah Mulia, Negara Islam, 2010, KataKita, Depok Halaman 206


[xvi] Ibid, halaman 210


[xvii] Opcit, halaman 213


[xviii] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah,1996, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Jakarta Halaman 229-311


[xix] Muhammadu Muhammadi Hasan Syurab, al Madinah al Nubuwah fi Fajri al Islam wa al Asri al Rasyidi, al riwayah al Shahihah li al Tarikh al Hadari al Siyasi wa al Iqtishadi wa al Idari wa al Ijtimai wa al Ilmi, 1994, Dar al Shamilah, Beirut halaman 113


[xx] H.Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad, 1973,Bulan Bintang , Jakarta Halaman 74


[xxi] Opcit, halaman 31-37


[xxii] KH. Saiful Islam Mubarak, Piagam Jakarta atau Piagam Madinah?,2004, Syamil,Bandung, Hal 71-81


[xxiii] Musdah Mulia, Opcit, Hal 218


[xxiv] H.Zainal Abidin Ahmad, Opcit Hal 127


[xxv] Ibid, Hal 130


[xxvi] Aunur Rofiq, Opcit Hal.136


[xxvii] idem


[xxviii] Yusuf Musa—dengan mengutip Uthman Khalil—berkesimpulan bahwa Piagam Madinah mencerminkan pendirian negara; di dalamnya terdapat bangsa yang mendiami wilayah tertentu, institusi abstrak yang diterima oleh. bangsa dan direalisasikan oleh pemegang kekuasaan, sistem yang ditaati dan mengatur jenjang-jenjang kekuasaan serta kebebasan politik yang menjadi identitas bangsa sehingga tidak mengekor pada negara lain. Lihat Yusuf Musa, Islam dan Tata Negara, h. 25


[xxix] Wahib Wahab, Menggagas Reformulasi Relasi Negara dan Rakyat: Perspektif Teologi Politik Islam-Hermeneutik, dalam Jurnal Paramedia, h. 27


[xxx] Musdah Mulia, Opcit hal 211
Share this article :

0 komentar:

PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH

SIMBI
Sistem Informasi Manajeman Bimas Islam

instagram

Instagram


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KUA KEC. SUKUN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger