oleh
KH.Muhib Aman Aly
Banyak
yang menganggap bahwa filsafat islam menjadi stagnan setelah Imam al-Ghazali
menulis Tahafut al-Falasifah nya. Banyak pula yang menganggap bahwa ilmu
kalam dan filsafat adalah dua ilmu yang tidak pernah bisa akur. Untuk
membuktikan kesalahan asumsi ini perlu diungkapkan seorang tokoh mutakallim
yang sekaligus juga filosof yang hidup setelah zaman al-Ghazali. Tokoh
tersebut adalah Muhammad ibnu ‘Umar al-Razi al-Tabaristani al-Qurashi. Ia
seorang ulama yang pengetahuannya sangat luas, oleh karenanya beliau mendapat
berbagai gelar seperti: Fakhruddin (Kebanggaan Agama), Syaikhul Islam, al-Imam
dan lain-lain.
Beliau
lahir di Rayy pada bulan Ramadan 544 H bertepatan dengan tahun 1149 M. Sepuluh
abad yang lalu, Rayy yang lokasinya sekarang berada di Teheran, merupakan
sebuah kota besar berada di daerah Jibal, Tenggara Teheran. Dari Rayy ini telah lahir banyak tokoh pemikir
Muslim terkenal, diantaranya: Abu Bakar Muhammad ibnu Zakariyya al-Razi (m. 311
H/923 M), Abdurrahman ibnu Haitim al-Razi (m. 327 H/938 M), Abu Bakar al-Razi
al-Jassas (m. 370 H),. Diantara ulama yang hidup sezaman dengan beliau adalah
Ibnu Rusyd (520 H/ 1126 – 595 H/1198 M), Ibnu Arabi (560 H/1165 M – 638 H/1240
M), Sayfuddin al-Amidi (551 H/1156 M – 631 H/ 1233 M) dan al-Suhrawardi (549
H/1154 -587 H/1191 M).
Latar
Belakang pendidikan dan Keluarga
Fakhruddin
al-Razi mendapat pendidikan awal dari ayahnya. Pendidikan tersebut sangat
memberi kesan yang mendalam kepada dirinya. Pada saat itu Diyauddin umar, ayah
Fakhruddin al-Razi adalah seorang tokoh masyhur di Rayy yang juga penceramah ulung
di kota Rayy,
sehingga Fakhruddin al-Razi dijuliki sebagai Ibnu al-Khatib (anak penceramah) .
Sebagaimana diakui oleh Fakhruddin al-Razi sendri, ayahnya adalah murid dari
Abu al-Qosim Sulaiman ibnu Nasir al-Ansari, murid seorang ulama besar, Imam
al-Haramain Abu al-Ma’ali.
Pengetahuan
Fakhruddin al-Razi tentang teologi dan fiqh mula-mula beliau dapatkan dari
ayahnya. Dalam beberapa karyanya, beliau memebri gelar ayahnya sebagai
al-Syaikh al-Walid, al-Ustadz al-Walid dan al-Imam al-Sa’id.
Ayahnya
memeiliki beberapa karya diantaranya Ghayat al-Maram fi ilmi al-Kalam
(Puncak Kedambaan Dalam teologi). Menurut al-Subli kitab tersebut termasuk
kitab ahlis sunnah yang paling berharga dan sangat lugas (min anfusi kutub
ahl al-sunnah wa asyadduha tahqiqan). Dalam pandangan al-Subki ayahnya
mempunyai kefasuihan bahasa, hafalan yang kuat, pakar dalam fiqh, teologi,
sufi, ceramah, hdits, sastrawan yang prosanya sangat baik, keindahan serta
sajak yangmemukau dari ucapannya mengingatkan kembali kepada Maqamat
al-Hariri [i]
.
Setelah
ayahnya wafat pada tahun 559 h, Fakhruddin al-Razi yang saat itu berusia 15
tahun, merantau ke berbagai daerah. Pertama kali beliau merantau ke Simnan dan
mendalami fiqh kepada al-Kamal al-Samnani. Kemudian beliau kembali ke Rayy dan
berguru kepada Majduddin al-Jili, dalam masalah teologi dan filsafat. Ketika
al-jili berpindah ke Maraghah unutk mengajar disana, Fakhruddin al-Razi ikut
serta menemaninya. Salah seorang teman seperguruannya adalah Syihabuddin
al-Suhrowardi, seorang filosof yang megenalkan gagasan filsafat iluminasi,
sebuah aliran filsafat alternatif terhadap filsafat Aristoteles yang pada saat
itu cukup berpengaruh.
Disamping
memliki guru yang memang pakar dalam bidangnya, Fakhruddin al-Razi juga sendiri
termasuk seorang yang pintar, cerdas dan otodidak. Beliau berkata: “Aku seorang
pecinta ilmu, oleh sebab itu aku tetap menulis segala sesuatu dengan tidak
memperhatikan kuantitas dan metodologinya baik itu benar atau salah, sedikit
atau banyak”. [ii]
Selain
itu Fakhruddin al-Razi juga memiliki kemampuan menghafal yang luar biasa. Konon
belaiu telah menghafal kitab al-Syamil fi Ushul al-Din, karya Imam
al-haramain, al-Mu’tamad, karya Abu al-Husain al-Basri, dan al-Mushtashfa
karya Imam al-Ghazali.
Perjalanan
Karir intlektualnya
Setelah
menguasai berbagai disiplin keilmuan, Fakhruddin al-Razi merantau ke berbagai
daerah untuk memperluas wawasannya. Tercatat beliau pernah merantau ke Khawarazm
dan disana berdebat dengan tokoh-tokoh Muktazilah, yang saat itu sangat
berpengaruh. Selain itu beliau juga berdebat dengan tokoh-tokoh teolog Kristen.
Beliau menunjukkan berbagai kesalahan mendasar dalam dogma-dogma Kristen serta
mempertahankan kemurnian ajaran Islam.
Pada
usia yang 35 tahun, Fakhruddin al-razi merantau ke Transoxiana (al-Bilad ma
wara’a al-nahr) dan menetap kurang lebih dua tahun disana. Selanjutnya
beliau melanjutkan safari intlektualnya ke Samarqand, Khujand, Banakit, Ghaznah
dan bagian Barat India .
Selama dalam perjalanannya beliau selalu menyempatkan berdialog dengan para
tokoh-tokoh setempat.
Di
bukhara
Fakhruddin al-Razi sempat berdialog dengan sejumlah ahli fiqh madzhab Hanafi
seperti al-Radliyy al-Naisaburi. Setelah merasa telah cukup tinggal di Bukhara , beliau
melanjutkan safari intlektualnya ke Samarqand. Sebelum kedatangannya di Samarqand,
beberapa karyanya seperti al-Mabahits al-Masyriqiyah (Penelitian Timur),
Syarh al-Isharat wa al-tanbihat (Komentar terhadap Anotasi dan Peringatan) dan
Mulakhkhas (Sinopsis), sudah lebih dulu beredar disana, sehingga ketika
beliau datang, masyarakat sudah banyak yang telah mengenalnya.
Dari
Samarqand, Fakhruddin al-Razi berkunjung ke Ghur. Disana beliau mendapatkan
perlindungan dari Raja Ghaznah, Syihabuddin al-Ghuri dan saudaranya Ghiyatsuddin
al-Ghuri. Beliau berhasil mengubah keyakinan Ghiyatsuddin dari doktrin
Karramiyyah [iii]
yang sesat dan sangat dominan di Ghur kepada paham Ahlussunnah. Usaha
Fakhruddin ini membuat pengikut Karramiyyah sangat marah kepadanya. Lebih marah
lagi ketika beliau mengkritik tokoh mereka, Ibnu Qudwah, didepan publik. Amir
al-Din, sepupu sekaligus menantu Ghiyatsuddin, membela Ibnu Qudwah dan
selanjutnya mengusir Fakhruddin al-Razi.
Kemudian
beliau kembali ke Herat
dan mendapat perlindungan dari dari sultan Khurasan ‘Alauddin Khawarzamshah
Tusukh (m. 596 H). Beliau kemudian menjadi pengajar anak sultan. Ketika
pangeran tersebut mewarisi tahta pada tahun 596 H, Fakhruddin al-Razi
mendapatkan kondisi dirinya yang lebih baik.
Beliau
menetap di heart sampai akhir hayatnya. Dan mneinggal di desa Musdakhan Herat,
pada tahun 606 H/Maret 1210 M, pada usia yang ke 62 tahun.
Sekalipun
jasadnya telah terbang, pemikiran-poemikiran beliau akan terus dikenang. Ibnu
Athir, seorang sejarawan Muslim terkenal, yang hidup sezaman dengan beliau,
berpendapat bahwa beliau adalah seorang ahli fiqh dari madzhab Syafi’i, penulis
karya-karya terkemuka dalam fiqh, ushul fiqh dan lain-lain. Ibnu Khalikan,
seorang sejarawan lainnya menganggap semua karya Fakhruddin al-Razi sangat
memuaskan pembacanya. Beliau adalah orang pertama yang mengenalkan susunan yang
sistematis dalam karya-karyanya yang sebelumnya belum seorangpun pernah
melakukannya. Beliau berceramah dengan sangat baik dan mengesankan, baik dalam
bahasa Arab maupun dalam bahasa Persia .
Siapapun yang mendengar ceramahnya akan menangis. Jika beliau menggelar acara
diskusi, maka para cendikiawan dan tokoh akan menghadirinya. Mereka bertanya
mengenai berbagai persoalan dan beliau memberikan jawaban yang spektakuler.
Banyak pengikut Karramiyyah dan pengikut madzhab lain yang kembali kepada
madzhab Ahlussunnah. Tak heran jika di Herat beliau digelari Syaykh al-Islam.
Bagi Imam al-Subki, Fakhruddin al-Razi adalah seorang pakar teologi yang sangat
menguasai lintas disiplin ilmu.
Seorang
Mufassir
Falhruddin
al-Razi menulis beberapa karya yang berkaitan dengan al-Qur’an. Diantaranya Asrar
al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil, Tafsir Surah al-Fatihah (manuskrip), Al-tanbih
‘ala Ba’dli al-Asrar al-Mawdi’ah fi Ba’d Ayat al-Qur’an (manuskrip). Dalam
studi al-Qur’an, magnum opus dari pemikiran beliau adalah Mafatihu al-Ghoyb
Tafsir al-Kabir). Kitab tafsir tersebut ditulis kurang lebih selama 8
tahun, yaitu dari tahun 595 sampai 603. ketika menulis kitab tafsit tersebut,
beliau mengulangi seraya memodifikasi apa yang telah ditulisnya diberbagai buku
sebelumnya, seperti Asas al-Taqdis, Nihayatu al-I’jaz fi Dirayatu al-I’jaz,
dan beberapa karya lainnya.
Beliau
juga memanfaatkan karya-karya para mufassir sebelumnya, seperti Tafsir
al-Qoffal al-Kabir, karya Muhammad ibnu ‘Ali Ibnu Isma’il 9m. 365 H); Tafsir
al-Wahidi, karya Abu al-hasan ‘Ali ibnu Ahmad ibnu Muhammad (m. 462 H); dan
al-Kasysyaf, karya Muhammad ibnu ‘Umar ibnu Muhammad al-Zamakhsari (m.
462 H).
Fakhruddin
al-Razi menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan berbagai lintas disiplin ilmu.
Banyak dari pembahasannya yang tidak terdapat di dalam kitab-kitab tafsir yang
lain. Mungkin disebabkan ini, Ibnu Khalikan berpendapat bahwa karya tafsir
Fakhruddin al-Razi memuat didalamnya segala yang aneh-aneh.
Meski
karya tafsirnya banyak mengundang pujian dari para ulama dan sejarawan, namun
ada juga yang memberikan komentar sinis. Ibnu Taymiyyah dan Abu Hayyan
al-Andalusi misalnya berpendapat bahwa Tafsir Mafatih al-Ghayb (Tafsir
al-Kabir) memuat segala sesuatu kecuali tafsir (fihi kullu syai’ illa
al-tafsir). Tetapi komentar sinis inpun segera dibantah oleh Imam Tajuddin
al-Subki. Baginya didalam Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi itu terdapat
segala sesuatu sekaligus tafsir (inna al-tafsir al-kabir fihi kullu syai’
ma’a al-tafsir). Perbedaan pendapat seperti ini disebabkan pendekatan
Fakhruddin al-Razi tidak terbatas kepada pendekatan tata bahasa dan riwayat
saja. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakkan berbagai pendekatan
lintas disiplin ilmu. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, al-Qur’an diturunkan
supaya bermanfaat dan rahasia-rahasianya tersingkap, bukan untuk tujuan dari
sisi tata bahasa dan khabar saja tanpa menggunakan berbagai disiplin keilmuan yang
justru menunjukkan kekuasaan Tuhan.
Pendekatan
yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan al-Qur’an dengan
menggunakan lintas disiplin ilmu mewrupakan usaha yang perlu dihargai. Apalagi
usaha beliau itu sama sekali tidak meninggalkan pendekatan al-tafsir bi
al-ma’tsur . beliau juga sangat concern dengan disiplin bahasa ketika
menafsirkan al-Fatihah. Karena pendekatannya yang mengagumkan, maka karya
tafsirnya dijadikan rujukan oleh para mufassir pada generasi berikutnya.
Pengaruh tersebut, misalnya, tampak
jelas dalamkarya tafsir Abdullah ibnu ‘Umar ibnu Muhammad ibnu ‘Ali al-Baydlawi
(m. sekitar tahun 685 H), Anwar al-tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Bahkan
menarik juga untuk diketahui bahwa pengaruh tafsir tersebut juga telah sampai
ke Nusantara. Syekh Nawawi al-Jawi al-Banteni (m. 1897), seorang ulama Mekkah,
berasal dari Banten, menulis kitab tafsir berjudul Marah Labid. Kitab
tersebut banyak memuat keterangan dari kitab tafsir Fakhruddin al-Razi, Mafatih
al-Ghoyb.
Ahli
Fiqh
Selain
sebagai seorang mufassir, Fakhruddin al-Razi juga dikenal sebagai ahli bidang
fiqh. Ini tampak bukan saja dari tulisan-tulisannya dalam fiqh dan ushul fiqh,
namun juga dari berbagai perdebatannya dengan para ahli fiqh lainnya. Salah
satu kehebatan Fakhruddin al-Razi dalam bidang ushul fiqh adalah karena beliau
sejak muda sudah menguasai beberapa karya besar dalam ushul fiqh, seperti al-Burhan
karya Imam al-Haramain al-Juwayni, bahkan beliau menghafal al-Mushtashfa
karya Imam al-Ghazali, dan al-Mu’tamad karya Abu al-Husayn al-Bashri.
Selain al-Risalah karya Imam Syafi’i, kitab tersebut adalah kitab
standart dalam bidang ushul fiqh.
Fakhruddin
al-Razi banyak menulis mengenai fiqh dan ushul fiqh. Sayangnya, karya-karya
beliau dalam bidang itu banyak yang hilang atau masih dalam bentuk manuskrip,
seperti: Ibthal al-Qiyas, Syarah al-Wajiz fi al-Fiqh (li al-Ghazali),
al-Ma’alim fi ushul al-Fiqh dan al-Thariqah al-Ilahiyyah fi
al-Khilaf.
Salah
atu karyanya yang sangat penting dalam bidang ushul fiqh dan sudah diterbitkan
adalah al-Mahshul f ‘Ilmi al-Ushul. Karya tersebut telah dikaji,
dikomentari dan diringkas oleh para pakar yang lain. Diantara ulama yang
mengkaji karya tersebut adalah Syamsuddin Muhammad ibn Mahmud al-Ashbahani (m.
688 H) dengan menulis al-Khasyif al-Mahshul, Syihabuddin Ahmad ibn Idris
al-Qaffal (m. 684 H) dengan menulis Nafa’is al-Ushul Syarh al-Mahshul,
dan masih banyak yang lain.
Selain
itu, ada pula yang telah, meringkas karya Fakhruddin al-Razi, diantaranya
adalah; Diya’uddin Husayn dengan menulis al-Muntakhab, Abu Abdillah
Muhammad ibn Husayn al-Urmawi (m. 656 H) dengan judul al-Hashil min
al-Mahshul, Mahmud ibn Abi Bakar al-Urmuwi (m. 686 H) dengan judul al-Tahshil
min al-Mahshul, al-Qarafi dengan judul Tanqih al-Fushul fi Ikhtishari
al-Mahshul, Muzfir ibn Muhammad al-Tibrizi dengan judul Tanqih
al-Mahshul, dan masik banyak lagi yang lainnya, sebagimana dikemukakan oleh
Haji Khalifah.
Seorang
Teolog Dan Filosof
Fakhruddin
al-Razi juga pakar dalam bidang teolog dan filsafat. Karyanya dalam masalah-masalah
teologis dan filosofis sangat banyak. Dalam teologis misalnya, beliau menulis
kitab al-Arba’in fi Ushul al-Din, Asas al-Taqdis fi Ilmi al-Kalam,
al-Khamsun fi Ushul al-Din, al-Jabr wa al-Qadr, Nihayat al-‘Uqul
fi Drayat al-Ushul, Syarh Asma’ Allah al-Husna dan lain-lain baik
yang sudah terbit atau masih dalam bentuk manuskrip, sperti al-Jawhar
al-Fard, Huduts al-‘Alam, Ismat al-Anbiya’ dan lain-lain.
Dalam
bidang filsafat beliau mempunyai beberapa karya. Diantaranya al-Mathalib
al-‘Aliyyah (9 Jilid), al-Mabahits al-Masyriqiyyah (2 Jilid),
Syarah ‘Uyun al-Hikmah, Lubab al-Isyarat, dan lain-lain. Selain
itu masih banyak yang dalam bentuk manuskrip, seperti Ta’jiz al-Falasifah
(ditulis dalam bahasa Persia ),
al-mulakhkhash fi al-Hikmah wa al-manthiq al-Kabir, Masa’il al-Hudud,
dan lain-lain.
Menarik
untuk diketahui bahwa pemikiran-pemikiran filosofis Fakhruddin al-Razi sangat
maju pada zamannya. Konsepnya mengenai waktu, misalnya, banyak yang pararel
dengan pemikiran Newton
dan bahkan mendahuluinya. Fakhruddin membahas mengenai konsep waktu secara
mendetil dalam al-Mathalib al-‘Aliyyah. Dalam karya yang sudah tercetak
itu, pembahasan mengenai konsep waktu menghabiskan sebanyak 100 halaman. Dalam
pandangan Fakhruddin al-Razi, pada dasarnya waktu adalah substansi eternal,
tanpa terkait dengan sesuatu yang eksternal dan coraknya selalu sama. Waktu
mengalir dari tidak bermula ke tidak berakhir. Eksistensinya tidak tergantung
kepada akal manusia dan esensinya tidak tergantung kepada gerak. Ia selalu bisa
dipresepsikan sekalipun gerak tidak ada bersamanya. Waktu adalah eksistensi
aktual karena secara ontologis ia adalah absolut dan tidak bisa dianggap
sebagai sesuatu yang tidak ada [iv].
Fakhruddin al-Razi juga mengatakan bahwa
akal manusia terbatas untuk memahami rahasia esensi waktu (uqul alkhalqi
qashiratun ‘an al-ihathah bi-kunhio mahiyatihi).
Karya-Karya
Yang lain
Fakhruddin
al-Razi adalah penulis yang sangat produktif. Beliau membahas berbagai
persoalan secara mendalam. Beliau juga menulis mengenai sastra bahasa arab,
kedokteran, matematika, perbandingan agama dan sekte serta lain-lain. Sebagian
karya-karyanya sudah tercetak, namun masih banyak lagi yang dalam bentuk
manuskrip, juga banyak pula yang hilang. Dalam sastra arab, karyanya yang sudah
diterbitkan adalah Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz. Sedangkan yang
masih dalam bentu manuskrip antara lain adalah: Syarh Saqt al-Zand li Abi
al-A’la al-Ma’ari, al-Muharrar fi Haqa’iq al-Nahw.
Fakhruddin
al-Razi juga menulis dalam bidang kedokteran seperti Syarah al-Qonun (li Ibn
Sina) (manuskrip), al-Thibb al-Kabir (manuskrip), Masa’il al-Thibb (manuskrip). Beliau
juga menulis mengenai sejarah, matematika, astrologi, dan lain-lain. Selain itu
sebagian karyanya ada yang mesih belum diketahui isinya, seperti: Tahdzib al-Dala’il
wa ‘Uyun al-Masa’il, Jawab
al-Ghaylani, al-Ri’ayah, Risalah al-Su’al, al-Risalah
al-Sahabiyyah, al-Risalah al-Majdiyyah, dan Nafhat al-Masdur.
Selain itu masih banyak kitab-kitab yang masih diragukan, namun dinisbahkan
kepada Fakhruddin al-Razi. Untuk mengetahui apakah kaya-karya tersebut
betul-betul tulisan Fakhruddin al-Razi atau bukan, maka manuskrip-manuskrip
tersebut perlu diedit. Sebagai kesimpulan, Fakhruddin al-Razi adalah tokoh
intlektual besar dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam.
Pemikiran-pemikiran beliau lintas ruang dan waktu. Kajian yang mendalam
terhadap pemikiran-pemikiran beliau perlu terus dilakukan.
Semoga
Allah swt memberi pahala yang pantas atas segala usaha dan jasa-jasanya. Amin.
[i] Maqamat
al-Hariri adalah karya Abu Muhammad al-Qasim ibnu ‘Ali ibnu Muhammad ibnu
‘Utsman ibnu al-Hariri, seorang filolog dan sastrawan Arab terkemuka. Ia
terkenal dengan karyanya al-Maqamat. Lihat. Al-Mabahits
al-Masyriqiyyah fi ‘Ilmi al-Ilahiyyat wa al-Thabi’iyyat editor Muhammad al-mu’tashim Billah
al-Baghdadi (Beirut: dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet. Pertama, 1990), 2 Jilid, 1.
[ii] Ibny
Abi Usaybi’ah, Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba’, editor Nizar al-Rida
(Beirut :
Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah), 467.
[iii]
Pengikut Abu Abdillah Muhammad ibnu Karram. Mereka meyakini bahwa Allah swt
adalah antropormophis. Mereka juga terbagi menjadi beberapa kelompok. Lihat
lebih lanjut, Fakhruddin al-Razi, I’tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin
(Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1986), cet, Pertama.
[iv] Fakhruddin
al-Razi, al-Mathalib al-‘Aliyyah min al-‘Ilm al-Ilahi. Editor Ahmad
hijazi al-saqa, (Beirut :
dar al-Kitab al-‘Arabi), 9.
0 komentar:
Posting Komentar