pengajian munakahat

Home » » Haqiqah, Majaz, Wujuh dan Nadzair Dalam Memahami Quran

Haqiqah, Majaz, Wujuh dan Nadzair Dalam Memahami Quran

Written By Unknown on Jumat, 09 Oktober 2015 | 18.57

Oleh Ust. Hadiri

BAB I

PENDAHULUAN 
A.  Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas dan terang.Seperti di sebutkan dalam Alqur’an Surat Yusuf ayat :2.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
 “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya” (QS: Yusuf : 2).
Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tidak akan mampu dikuasai.
Al-Qur’an yang terangkum di dalamnya tentang tauhid, syari`at, akhlak, dan sebagainya memiliki berbagai macam cara dalam penyampaian makna yang disebut dengan gaya bahasa al-Qur’an.
Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti`arah, haqiqah, majaz,Al-wujuh wa Nazha’ir dan sebagainya. Pada beberapa kalimat pada al-Qur’an, ada yang bermakna haqiqoh, ada pula yang bermakna majaz dan ada pula yang satu lafadz digunakan di beberapa tempat,yang di sebut dengan Al-wujuh wa nazha’ir. Namun pada kesempatan ini, penulis akan membahas dua pokok bahasan dari gaya bahasa al-Qur`an tersebut yaitu, haqiqoh dan majaz serta Al-wujuh wa nazha’ir.


B.  Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah  ini, penulis merumuskan beberapa hal yang akan menjadi pembahasan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.      Pengertian Haqiqah dan Majaz
2.      Klasifikasi Haqiqah dan Majaz
3.      Signifikansi Haqiqah dan Majaz
4.   Pengertian Al-wujuh wa Nadzair
5.   Al-wujuh wa Nazha’ir dalam Al Qur’an
6.   Contoh contoh  Al-wujuh wa nazha’ir






















BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Majaz dan Haqiqah
Haqiqah dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Arab yang artinya nyata, kenyataan, atau asli. Haqiqah  dari kata haqqa yang berarti tetap. Sebagai makna subjek (fā’il) memiliki arti yang tetap, atau sebagai objek (maf’ūl) yang berarti ditetapkan[1]. Haqiqah berarti adalah sebuah kata yang maknanya asli sebagaimana yang ditetapkan di dalam al-Qur’an.
Haqiqah menurut istilah, adalah kata yang digunakan sebagaimana pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan[2]. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah  هواللفظ المستعمل فى ما وضع له ابتداء  lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.
Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai هو اللفظ المستعمل فى موضوعه الأ صلى  lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah كل لفظ هو موضوع فى الأصل لشيء معلوم . setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu[3].

Majaz dalam pengertian bahasa berasal dari bahasa arab jaza-yajuzu-jauzan dan jawazan artinya melewati, melebihi atau membolehkan[4]. Selanjunya majaz berarti metafora, metafora dalam kamus basar bahasa Indonesia artinya adalah suatu ungkapan secara langsung berupa perbandingan yang logis atau masuk akal. Dalam pengertian ini, majaz adalah suatu ungkapan yang melebihi atau melewati kata asal denga perbandingan yang masuk akal untuk menyampaikan makna.
Menurut istilah, majaz memiliki beberapa pengertian, yaitu :
Majaz adalah kata atau ungkapan yang digunakan tidak sesuai dengan asal penggunaannya yang pertama karena adanya indikasi yang menghalangi dinnyatakan makna yang hakiki[5].
Menurut beberapa ahli, majaz adalah lafaz yang digunakan bukan pada maknanya karena sebuah hubungan dan indikator(qorinah). Majaz adalah ungkapan yang digunakan untuk maksud yang kedua karena sebuah hubungan[6].
Lafad majaz adalah bahagian dari pengunanaan lafaz itu sendiri sehingga  para ulama berbeda pula dalam menafsirkan tentang pengertianLafad majaz . Walaupun berbeda dalam penafsiran namun tujuan adalah sama, mungkin letak perbedaan dalam menafsirkan arti majaz tersebut adalah cara pandang mereka yang berbeda. Diantara nya adalah

1.      Menurut al-Sarkhisyi beliau menyebutkan yang dimaksud dengan majaz adalah

اسم لكل لفظ هو مستعار لشيء غير ماوضع له
Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan[7]
2.      Ibnu Qudamah memberikan pengertian lafaz majaz adalah
هو اللفظ المستعمل فى غير موضوعه على وجه يصح
Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang digunakan.[8]
3.      Sedangkan majaz menurut Ibnu Subki adalah
هو اللفظ المستعملو بوضع ثان لعلاقة
Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya kaitan
                 Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan oleh para ulama yang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pengertian majaz tersebut adalah.
a.    Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang dimaksud oleh ungkapan bahasa.
b.   Lafaz yang bukan menurut arti dasarnya itu dipinjamkan untuk digunakan dalam member arti apa yang dimaksud
c.    Sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran dari arti lafaz yang dipinjamkan adalah punya kaitannya.[9]

B.  Klasifikasi Haqiqah dan Majaz
Haqiqah diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk, yaitu :
1.    Lughawiyyah Wadh`iyyah
Lughawiyyah Wadh`iyyah atau biasa disebut dengan al-haqiqah al-lughawiyyah ini adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Contohnya kata ar-rajul yang digunakan untuk mennyebut laki-laki dewasa.
2.    Lughawiyyah Manqulah
Lughawiyyah Manqulah ini adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi atau perubahan makna. Perubahan ini dilakukan oleh ahli bahasa, atau syari’at. Pada bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu :
a.    Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah
Yaitu kata yang mengalami transformasi makna, dari makna asal penggunaannya kepada makna lain yang kemudian makna tersebut menjadi populer sehingga makna asalnya ditinggalkan.
Contohnya, kata ad-dabbah yang artinya hewan melata, konotasinya bisa manusia dan hewan. Namun kemudian digunakan oleh orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat saja sehingga makna awalnya ditinggalkan.
b.    Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah
Yaitu kata yang mengalami trasformasi makna, dari makna asal kepada makna yang lain yang digunakan oleh pembuat syri`at. Makna yang lain ini berdasarkan dalil syari’at, contohnya shalat, shiyam, al-kufr, dan sebagainya[10]
Dari beberapa klasifikasi haqiqah tersebut,  dapat disimpulkan bahwa haqiqah lughowiyyah wadh`iyyah adalah kata yang digunakan sesuai makna hakikinya, sedangkan haqiqah lughowiyyah manqulah adalah makna yang menunjukkan makna asal setelah mengalami transformasi makna, baik secara bahasa, maupun secara syari`at.

Majaz dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu :
1.Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya.Seandainya di hilangkan tambahan kata itu,sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.Umpamanya tambahan kata    yang berarti “seperti”yang terdapat dalam firman Allah,surat al-Syura ayat 11. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ Tidak ada seperti semisal sesuatupun.
Seandainya kata    (seperti)itu tidak ada,sebenarnya tidak mengurangi artinya.Adanya tambahan ini menempatkannya sebagai majaz,karena berlebihan dari hakikatnya.
2  .Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya.Kebenaran maksud dari lafadz itu terletak pada yang kurang itu.Misal Surat Yusuf ayat 28. وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ  Tanyalah kampung itu
Pengertian dalam bentuk hakikatnya adalah “tanyalah penduduk kampung itu”.Adanya kekurangan kata “penduduk”dalam kata “kampung”diatas menjadikannya sebagai majaz.
3.Mendahulukan dan membelakangkan atau dala pengertian”menukar kedudukan suatu kata” Umpamanya Firman Allah surat An-Nisa’ Ayat 11.
 مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan membayarkan hutangnya
Maksud sebenarnya adalah “sesudah membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiatnya.
4.Meminjam kata lain atau isti’aroh.Yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan(meminjam)kata lain,seperti memberi nama A yang “pemberani” dengan”singa”
Isti’arah(meminjam kata lain)itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan majaz.[11]
C.  Signifikansi Haqiqah dan Majaz
Setelah memahami haqiqah dari berbagai macam pengertian, dan melihat dari klasifikasinya, haqiqah memiliki signifikansi sebagai berikut :
1.    Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami suatu makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik;
2.    Kemudian dapat membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi;
3.    Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.

Kemudian Majaz memiliki signifikansi sebagai berikut:
1.    Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan, seperti kalimat: بنى الأمير المدينةَ (seorang amir telah membangun suatu kota) lebih ringas daripada dengan menyebutkan البنائينَ والمهندسينَ (perumahan-perumhan dan para insinyur) dan sebagainya.
2.    Memperluas lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu komposisi.
3.    Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.


D.Ketentuan yang berhubungan dengan Haqiqoh dan Majaz
                 Ada beberapa ketentuan atau hukum yang perlu di perhatikan berkenaan dengan Haqiqoh dan Majaz,yaitu:
1.Bila suatu lafadz digunakan antara haqiqoh da majaz,maka lafadz itu di tetapkan sebagai haqiqoh,karena menurut asalnya penggunaan suatu lafadz atau kata adalah untuk haqiqohnya.
     Lafad itupun bukan mujmal kecuali bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang di maksudkan adalah majaz.Dengan menjadikan setiap lafad yang memungkinkan untuk dijadikan majaz sebagai mujmal,maka akan tercapai apa yang dimaksud,yaitu pemahaman.
2.Pada haqiqoh harus ada sasaran atau maudhu dari lafad yang digunakan,baik dalam bentuk perintah atau larangan,dalam bentuk umum atau khusus.Dan dalam kedua bentuk lafad itu tidak ada pertentangan,karena majaz adalah pengganti haqiqoh.dalam hal ini terdapat kaidah:”Asal penggunaan lafad itu adalah haqiqoh dan tidak beralih kepada majaz,kecuali ada hajat atau darurat”
3.Haqiqoh dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafadz dalam keadaan yang sama,Artinya,masing masing harus mengikuti tujuan sendiri sendiri;karena haqiqoh adalah asalnya dan majaz hanya kata yang di pinjam.
     Bila yang di maksud suatu lafad adalah haqiqoh maka majaz tidak di perlukan.Sebaliknya bila yang di maksud suatu lafad adalah majaz maka haqiqohnya tidak diperlukan lagi.[12]









BAB III
 AL-WUJUH WA NAZHA’IR

A.Pengertian Al-wujuh wa Nazha’ir
Kaidah Al-wujuh dan nazha’ir merupakan salah satu qaidah yang dibutuhkan oleh seorang mufassir, seorang mufassir dari zaman klasik-kontemporer harus memahami kaidah ini. Hal ini berdasarkan hadits mauquf dari riwayat yang dikeluarkan oleh ibn sa’d dari abi darda’, (namun ada yang mengatakan hadits ini riwayat dari muqotil) menyatakan bahwa: “Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum ia mengetahui makna yang beragam dalam Al-Qur’an” [13]
Menurut arti bahasa Al-wujuh dan nazha’ir mempunyai arti sebagai berikut; Al-wujuh merupakan lafal jama’ dari bentuk mufrod wajhun sehingga berarti bermacam-macam/beragam, sedangkan lafal nazha’ir juga bentuk jama’ dari lafal nadzrun yang berarti kesamaan atau sepadan[14]. Bermula dari arti bahasa tersebut maka muncul pengertian bahwa Al-wujuh ialah lafal yang mempunyai arti/makna banyak yang digunakan dalam pelbagai bentuk jumlah kalimat yang berbeda-beda. Dan nazha’ir adalah lafal yang bersepakat mempunyai arti sama walaupun dalam bentuk jumlah kalimat (ayat-ayat Al-Qur’an) yang berbeda-beda.
Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif Al-wujuh dan nazha’ir:
Al-wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazha’ir adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (lafaz al-mutawathi’ah)[15]. Iman Az- Zarkasyi dalam kitabnya Al- Burhan fi Ulum Al- Qur’an, mendefinisikan Al-wujuh dan nazha’ir secara sederhana,.Az-Zarkasyi  mengemukakan bahwa Al-wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya yang beragam. Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.
Sedangkan menurut jamaluddin abi al-faraj Abdurrahman ibn aljauziy yaitu“Adanya suatu kata yang disebutkan dalam tempat tertentu dalam Al-Qur’an dengan suatu lafaz dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya disebut Al-wujuh, Jadi nazha’ir sebutan untuk lafaz dan Al-wujuh sebutan untuk makna yang beragam.”
Kata Al-wujuh telah dipakai dalam sebuah hadits marfu’[16], dan kata ini juga pernah dicetuskan oleh ungkapan yang disampaikan Ali bin Abi Thalib ra[17]. Ini merupakan ungkapan pertama yang menggunakan kata Al-wujuh terkait dengan nash al-Qur’an.Karangan mengenai Al-wujuh dan nazhair telah ada semenjak abad kedua Hijriah, yaitu karangan Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H). Disamping itu, juga terdapat karangan-karangan yang tidak sampai kepada kita secara kongkrit, melainkan hanya dalam bentuk informasi, yaitu karangan ‘Ikrimah Maula Ibn ‘Abbas (w. 105 H) dan La’la bin Abi Thalhah (w. 143).[18]
Jadi, sederhananya wajh merupakan pemahaman mufassir terhadap suatu kata dalam tempat tertentu dengan makna tertentu. Dan wajh lainnya adalah pemahaman mufassir terhadap kata yang sama pada tempat lainnya dengan makna yang berbeda dengan pemahaman pertama. Sementara nazhair, sebagaimana definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz, maka kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama (nazhirun) dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Berarti, kata-kata yang terulang dalam beberapa tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah mengalami pengulangan kata itu sendiri (lais huwa nafsuhu), melainkan kata yang sama (nazhiruhu).[19] Jadi, kata kitab misalnya, yang terdapat di banyak tempat dalam Alquran, pada dasarnya tidak disebutkan berulang, hanya saja disampaikan kata yang sama dengannya (nazhiruhu). Kitab yang disebutkan pada tempat A, bukanlah kitab yang disebutkan pada tempat
Di samping itu, Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif Al-wujuh dan nazhair:
Al-wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazhair adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (alfaz al-mutawathi’ah).[20]
Akan tetapi, Salwa Muhammad mengkritik definisi ini. Menurutnya, pada definisi ini terjadi pencampuradukan antara sudut pandang bahasa Alquran dengan sudut pandang bahasa Arab. Memang Alquran berbahasa Arab, namun bahasa Alquran lebih khas dari bahasa Arab sehingga bahasa Arab merupakan alat bantu untuk memahami bahasa Alquran.
Salwa Muhammad mempertanyakan redaksi “musytarak” dalam definisi di atas. Pada dasarnya, musytarak merupakan suatu terminologi dalam ilmu bahasa Arab. Ia menyatakan bahwa Al-Shuyuti tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan musytarak di sana lafaz-lafaz yang memiliki banyak makna terkhusus bagi Alquran ataukah dalam penggunaan bahasa secara umum, atau keduanya sama saja. akan tetapi, menurut Salwa Muhammad, hal itu berbeda. Karena mungkin saja ada lafaz yang musytarak secara bahasa, namun tidak terdapat dalam Alquran, atau lafaz musytarak tersebut dalam Alquran hanya mempunyai satu tunjukan makna saja, atau mungkin juga musytarak-nya suatu lafaz hanya pada Alquran saja, dalam artian, orang Arab sendiri baru mengetahui bahwa lafaz itu musytarak semenjak ditunjukkan oleh Alquran.[21] Akan tetapi, sayangnya Ia tidak mencantumkan kemungkinan-kemungkinan yang disuguhkannya.
B.    Wajuh dan Nazhair  dalam Al-Qur’an
Para mufassir telah meneliti bahwa tidak sedikit kata-kata dalam Alquran yang keluar beberapa kali, dan setiap kali kata itu digunakan pada suatu tempat (kalimat/ayat), akan bermakna berbeda dengan penggunaannya pada tempat lain.[22]
Dalam al-Itsqan, setelah dipelajari, terdapat sepuluh kata yang mempunyai banyak makna. Kata-kata tersebut adalah: (1) huda, yang mempunyai tujuh belas makna, (2) al-su’u yang mempunyai sebelas arti yang berbeda, (3) al-shalah yang mempunyai sembilan makna, (4) al-rahmah yang mempunyai empat belas makna, (5) al-fitnah yang mempunyai lima belas makna, (6) al-ruh dengan sembilan makna, (7) al-qadha dengan lima belas arti, (8) al-zikru yang mempunyai tujuh belas makna, (9) al-du’a yang mempunyai enam makna, dan (10) al-ihshan dengan tiga makna. Selanjutnya, juga disampaikan kata-kata yang mempunyai makna seragam dengan satu pengecualian, seperti kata al-asaf yang berarti “kesedihan”, dalam satu ayat ia jadi bermakna menjadikan marah.[23]
Karya-karya dalam ilmu Al-wujuh wa nazhoir, antaralain:
1)      al-Al-wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Azhim, karangan Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H).
2)      al-Al-wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim, karangan Harun bin Musa (w. 170H).
3)      at-Tashorif, karangan Yahya bin Salam (w. 200H).
4)      Tahshilu nazhoir al-Qur’an, karangan Hakim at-Tirmidzi (w. 320 H)
5)      Al-wujuh al-Qur’an, karangan al-Hairy (w.430 H).
6)      al-Al-wujuh wa an-Nazhoir li alfazdi Kitabullah al-‘Aziz, karangan ad-Damigany (w.478).
7)      Nuzhatul al- A’yan al-Nawazhir fi ‘Ilmi al-Al-wujuh wa an-Nazha’ir fi al-Qur’an al-Karim,karangan Ibnu Jauzi (w. 597 H).
8)      Kasyfu al-Sarair fi Ma’na al-Al-wujuh wa al-Asybah wa an-Nazhair,karangan Ibnu ‘Imad al-Masry (w.887 H).
9)      Mu’tariku al-aqran fi Musytaraki al-Qur’an, karangan Imam Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H).
10)  al-Al-wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Muwazanah, Disertasi Dr.Sulaiman bin Sholih al-Qor’awy dicetak tahun 1410 H.
11)  al-Al-wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim, Tesis Salwa Muhammad al-‘Awwal di Universiatas ‘Ain Syams dicetak tahun 1998 M
12)  al-Al-wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Taasiliyyah, karangan Dr.Ahmad Muhammad al-Baridy
13)  Ma’rifah al-Al-wujuh wa an-Nazhair fi al-Qur’ani al-Karim, karangan Syekh Muhammad bin Umar Bazmul. [24]

Ibnu Jauzi mendefinisikan al-Al-wujuh wa al-nazha’ir, sebagaimana dikutip oleh Salwa Muhammad, sebagai:
“Adanya suatu kata yang disebutkan dalam tempat tertentu dalam al-Qur’an dengan suatu lafaz dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap tempatnya disebut Al-wujuh, Jadi nazhair sebutan untuk lafaz dan nazhair sebutan untuk makna yang beragam.”
Berbeda dengan Salwa Muhammad, Imam az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, mendefinisikan Al-wujuh dan nazha’ir secara sederhana, az-Zarkasyi  mengemukakan bahwa Al-wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya yang berberagam.Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.

C.    Contoh-contoh al-Al-wujuh wa Nazhair dalam al-Qur’an
1.         Kata al-Huda mempunyai 18 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu:
a)    al-S|abat (tetap)
اهدنا الصراط المستقيم
Artinya: Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus (al-Fatihah: 6)

b)   al-Bayan (petunjuk)
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: Merekalah yang berada dalam penjelasan Tuhan dan mereka akan berhasil (al-Baqarah: 5)

c)    al-Din (agama)

قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيم
ٌ
Terjemahnya:
Katakanlah, “Agama yang benar ialah agama Allah: (takutlah kamu) supaya tidak ada yang akan diturunkan kepada orang lain seperti yang telah diturunkan kepada kamu atau mereka (yang menerima wahyu demikian) akan membantah kamu di depan Tuhanmu?” Katakanlah, “Segala karunia di tangan Allah, diberikan kepada yang Ia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Tahu”.(Ali Imran:73)

d)   al-Iman

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا

Terjemahnya:
Dan Allah akan menamabah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniakan iman dan amal kebaikan kekal, dalam pandangan Tuhanmu itulah yang terbaik sebagai pahala dan yang terbaik sebagai tempat kembali (Maryam:.76)

e)    ad-Da’i(penyeru)
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آَيَةٌ مِنْ رَبِّهِ إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ

Terjemahnya:
Dan orang-orang kafirberkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari Tuhannya? ” Tetapi engkau adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru (al-Ra’d:7)

f)     al-Rasul dan al-Kitab
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُ

Terjemahnya:
Kami berfirman, “Turunlah kamu sekalian dari sini, maka apabila datang kepadamu rasul dan kitab Aku, siapa pun mengikuti rasul dan kitab-Ku tak perlu khawatir, tak perlu bersedih (al-Baqarah: 38)
g)   al-Ma’rifah (pengetahuan) 
وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُون
Terjemahnya:
Dan rambu-rambudandenganbintang-bintangmerekamengetahui. (al-Najm: 16)

h)   Nabi SAW
إنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Terjemahnya:
Mereka yang menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi  yang Kami turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat Allah, dan laknat mereka yang berhak melaknat (al-Baqarah: 159)
2.         Kata al-Akhirat mempunyai 7 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu :

a)    al-Bi’tsa ba’da Maut (Hari kebangitan dari Alam Kubur)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Terjemahnya:
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(al-Baqoroh:4)    

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

Terjemahnya:
 Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian, pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(al-Baqoroh:8)

b)   al-Qismah (Sumpah/Janji)
وَأَنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Terjemahnya:
dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.(al-Isro’:10)           

c)    al-Jannah (Surga)
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Terjemahnya:
..... Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.(al-Baqoroh:102)

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَة
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, ...( Ali Imran : 77)
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).(adh-Dhuha:4)

3.         Kata al-Ardhi mempunyai 7 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, di antaranya yaitu :

a)    al-Ardhi (bumi)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumisungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(al-Baqarah:164)        

b)   Ardhi Makkah (Makkah)

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)..... (an-Nisa:97)  

c)    Ardhi Madinah (Madinah)
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Terjemahnya:
….Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(an-Nisa:97)
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً

Terjemahnya:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak... .(an-Nisa:100)
                       
d)   Ardhi al-Muqoddas
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا

Terjemahnya:
Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya....(al-A'raf : 137)
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ
Terjemahnya:
Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia.( al-Anbiyaa : 71)

e)    Ardhi Misr( Mesir)
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Yusuf: 55)

4.         Kata ad-Du’a mempunyai 6 ragam makna dalam ayat Al-Qur’an, yaitu :
a)    al-Ibadah
ولا تدع من دون الله ما لا ينفعك ولا يضرك
Terjemahnya:
 Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah...(Yunus:106)



b)   al-Isti’anah (meminta pertolongan)
وادعوا شهداءكم
Terjemahnya:
 ....dan ajaklah penolong-penolongmu ....(al-Baqarah:3)

c)    as-Sual (Permintaan secara umum)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ

Terjemahnya:
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu,.....(Ghâfir: 60)

D.    Urgensi Al-wujuh wa Nazha’ir
            Adapun beberapa urgensi dari Al-wujuh wan nazha’ir sebagai kaidah dalam penafsiran, diantaranya:
1.      Menunjukkan kemu’zijatan al-Qur’an dari segi bahasa atau linguistik dan juga menunjukkan begitu kayanya bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an.
2.      Sebagai kaidah dalam penafsiran, maka Al-wujuh wan nazair ini berguna untuk mempermudah dalam menafsirkan al-Qur’an.
3.      Konsekuensi dari pengetahuan terhadap Al-wujuh wan nazair itu mendapatkan pemahaman yang benar sesuai kondisi objek teks atau firman tertulis dalam bahasa itu sendiri.
4.      Kaidah kebahasaan tidak bisa dilepaskan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini merupakan salah satu bukti konkret yang tidak bisa dielakkan.
5.      Dalam menafsirkan al-Qur’an selain memperhatikan teksnya, juga memperhatikan konteksnya, karena tidak semua lafadz-lafadz yang ada dalam ayat al-Qur’an itu menghendaki makna dasarnya (sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan), terkadang yang dikehendaki adalah makna relasionalnya (sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus).[25]

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan

Haqiqah adalah sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang digunakan seperti makna semulanya yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu. Haqiqah lughowiyyah wadh`iyyah adalah kata yang digunakan sesuai makna hakikinya, sedangkan haqiqah lughowiyyah manqulah adalah makna yang menunjukkan makna asal setelah mengalami transformasi makna, baik secara bahasa, maupun secara syari`at.
 Majaz adalah sebuah kalimat di dalam al-Qur’an yang pada ungkapannya tidak sesuai dengan makna asalnya, namun terdapat hubungan dengan maksud kedua dari ungkapan itu.
Jadi, sederhanany wajh merupakan pemahaman mufassir terhadap suatu kata dalam tempat tertentu dengan makna tertentu. Dan wajh lainnya adalah pemahaman mufassir terhadap kata yang sama pada tempat lainnya dengan makna yang berbeda dengan pemahaman pertama. Sementara nazhair, sebagaimana definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz, maka kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama (nazhirun) dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Berarti, kata-kata yang terulang dalam beberapa tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah mengalami pengulangan kata itu sendiri (lais huwa nafsuhu), melainkan kata yang sama (nazhiruhu).Jadi, kata kitab misalnya, yang terdapat di banyak tempat dalam Alquran, pada dasarnya tidak disebutkan berulang, hanya saja disampaikan kata yang sama dengannya (nazhiruhu).

B.Saran saran
                  Penulis yakin dengan kesulitan yang dihadapi ketika menulis makalah ini,sehingga kesalahan dan kekurangan akan terjadi disana sini.Oleh sebab itu saran dan kritik membangun untuk memperbaiki makalah ini menjadi harapan penulis,sehingga menambah baiknya penyajian makalah.

DAFTAR PUSTAKA

al-‘Awwa, Salwa Muhammad. al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar el-Syuruq. 1998.

Al-Shuyuti, Jalaluddin. Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an.Juz 1.Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008

Al-Zarkasyi. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 . Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008.

Amir Syarifudin. Ushul Fiqih. Jilit 2. Cet. V. Jakatra: Kencana.2008
Dahlan, Abd Rahman,Ushul Fiqh.Jakarta ,AMZAH.2010
Hafidz Abdurrahman. Ulumul Qur’an. Bogor.2004

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren Krapyak.

http://bisritujang.wordpress.com/2012/10/31/288/,diunduh pada tanggal 25/05/2015.
https://qistiya.wordpress.com/2013 diakses tanggal 25 Mei 2015

Avatarzaharuddin.blogspot.com/2014 diakses tanggal 25 Mei 2015








[1] Amir Syarifudin, 2008, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana,  h. 25 (Lihat juga dalam Abd Rahman Dahlan,2010.Ushul Fiqh,Jakarta,AMZAH.h.297
[2] Hafidz Abdurrahman, 2004, Ulumul Qur’an, Bogor, h.125.
[3] Amir Syarifudin.Opcit,h 25
[4] http://bisritujang.wordpress.com/2012/10/31/288/ , diunduh pada tanggal 21/05/2015.
[5] Hafidz Abdurrahman,Opcit h.126
[6] http://bisritujang.wordpress.com/2012/10/31/288/ , diunduh pada tanggal 25/05/2015
[7] Amir Syarifudin.Opcit,h 27

[8] Ibid,h 27
[9] Amir Syarifudin.Opcit ,h 27
[10] Ibid,h 26
[11] Ibid h 29
[12] Ibid,h 3125 (Lihat juga dalam Abd Rahman Dahlan,2010.Ushul Fiqh,Jakarta,AMZAH.h.300

[13] Muhammad Bin Alwi Al-Maliki Al-Hasaniy “Zubdatul Itqon Fiy ‘Ulumil Qur’an” Hal. 70 Beirut : Dar El-Fikr
[14] A.W Munawwir “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia” Krapyak Yogyakarta
[15] Imam jalaludin assuyuthi “al-itqon fiy ‘ulumil qur’an” maktabah shamela Hal 164
[16] Dalamkitabnya, Muqatil menuliskan sebuah hadismarfu’:
لا يكونs الرجل فقيها كل الفقه حتى يرى للقرآن وجوها كثيرة
Artinya: Seseorang tidak akan benar-benar paham al-Qur’an sebelum ia mengetahui makna yang beragam dalam al-Qur’an
[17] Ali bin AbiThalib tatkala ia mengutus Ibnu ‘Abbas kekaumKhawarij,berkata:
اذهب اليهم فخصامهم ولا تحاجهم بالقرآن فإنهم حمال ذو وجوه ولكن خاصمهم باسنة

[18] Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Al-wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar el-Syuruq, 1998), hlm. 19.

[19] Ibid,h 42
[20] Al-Shuyuti, Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164. Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.

[21] Opcit h 42
[22] Salwa Muhammad al-’Awwa, al-Wujuh wa al-Nazhair ..., hlm. 41.
[23] Jalaluddin al-Shuyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm. 164-166.

[24] https://qistiya.wordpress.com/2013 diakses tanggal 25 Mei 2015
[25] Avatarzaharuddin.blogspot.com/2014 diakses tanggal 25 Mei 2015
Share this article :

0 komentar:

PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH

SIMBI
Sistem Informasi Manajeman Bimas Islam

instagram

Instagram


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. KUA KEC. SUKUN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger