Oleh Ust. Hadiri
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan
dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas dan terang.Seperti di
sebutkan dalam Alqur’an Surat Yusuf ayat :2.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya” (QS:
Yusuf : 2).
Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu
harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tidak akan
mampu dikuasai.
Al-Qur’an yang terangkum di dalamnya tentang tauhid,
syari`at, akhlak, dan sebagainya memiliki berbagai macam cara dalam penyampaian
makna yang disebut dengan gaya bahasa al-Qur’an.
Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai
dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti`arah,
haqiqah, majaz,Al-wujuh wa Nazha’ir dan sebagainya. Pada beberapa kalimat pada
al-Qur’an, ada yang bermakna haqiqoh, ada pula yang bermakna majaz dan ada pula
yang satu lafadz digunakan di beberapa tempat,yang di sebut dengan Al-wujuh wa
nazha’ir. Namun pada kesempatan ini, penulis akan membahas dua pokok bahasan
dari gaya bahasa al-Qur`an tersebut yaitu, haqiqoh dan majaz serta Al-wujuh wa
nazha’ir.
B.
Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini, penulis merumuskan beberapa hal yang akan
menjadi pembahasan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.
Pengertian Haqiqah dan Majaz
2.
Klasifikasi Haqiqah dan Majaz
3.
Signifikansi Haqiqah dan Majaz
4. Pengertian Al-wujuh
wa Nadzair
5. Al-wujuh wa
Nazha’ir dalam Al Qur’an
6. Contoh contoh Al-wujuh wa nazha’ir
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Majaz dan Haqiqah
Haqiqah dalam pengertian bahasa,
berasal dari bahasa Arab yang artinya nyata, kenyataan, atau asli. Haqiqah dari kata haqqa yang berarti tetap. Sebagai
makna subjek (fā’il) memiliki arti yang tetap, atau sebagai objek (maf’ūl) yang
berarti ditetapkan[1]. Haqiqah
berarti adalah sebuah kata yang maknanya asli sebagaimana yang ditetapkan di
dalam al-Qur’an.
Haqiqah menurut istilah, adalah kata
yang digunakan sebagaimana pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan[2].
Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah هواللفظ المستعمل فى ما وضع له ابتداء
lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu
ditentukan pada mulanya.
Ibnu Qudamah mendefinisikannya
sebagai هو
اللفظ المستعمل فى موضوعه الأ صلى lafaz yang digunakan untuk
sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah كل لفظ هو موضوع فى الأصل لشيء معلوم . setiap lafaz yang ditentukan menurut
asalnya untuk hal tertentu[3].
Majaz dalam pengertian bahasa berasal dari bahasa arab jaza-yajuzu-jauzan dan
jawazan artinya melewati, melebihi atau membolehkan[4]. Selanjunya majaz berarti
metafora, metafora dalam kamus basar bahasa Indonesia artinya adalah
suatu ungkapan secara langsung berupa perbandingan yang logis atau masuk akal.
Dalam pengertian ini, majaz adalah suatu ungkapan yang melebihi atau melewati
kata asal denga perbandingan yang masuk akal untuk menyampaikan makna.
Menurut istilah, majaz memiliki beberapa pengertian, yaitu :
Majaz adalah kata atau ungkapan yang digunakan tidak sesuai
dengan asal penggunaannya yang pertama karena adanya indikasi yang menghalangi
dinnyatakan makna yang hakiki[5].
Menurut beberapa ahli, majaz adalah lafaz
yang digunakan bukan pada maknanya karena sebuah hubungan dan indikator(qorinah).
Majaz adalah ungkapan yang digunakan untuk maksud yang kedua karena sebuah
hubungan[6].
Lafad majaz adalah bahagian dari
pengunanaan lafaz itu sendiri sehingga
para ulama berbeda pula dalam menafsirkan tentang pengertianLafad majaz .
Walaupun berbeda dalam penafsiran namun tujuan adalah sama, mungkin letak
perbedaan dalam menafsirkan arti majaz tersebut adalah cara pandang mereka yang
berbeda. Diantara nya adalah
1.
Menurut al-Sarkhisyi beliau
menyebutkan yang dimaksud dengan majaz adalah
اسم
لكل لفظ هو مستعار لشيء غير ماوضع له
Nama untuk setiap lafaz yang
dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan[7]
2. Ibnu Qudamah memberikan pengertian lafaz majaz adalah
هو اللفظ المستعمل فى غير موضوعه على وجه يصح
Lafaz yang digunakan bukan untuk apa
yang ditentukan dalam bentuk yang digunakan.[8]
3. Sedangkan majaz menurut Ibnu Subki
adalah
هو اللفظ المستعملو بوضع ثان لعلاقة
Lafaz yang digunakan untuk
pembentukan kedua karena adanya kaitan
Dari
beberapa definisi yang telah diungkapkan oleh para ulama yang tersebut diatas,
maka dapat dirumuskan pengertian majaz tersebut adalah.
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada
arti yang sebenarnya sebagaimana yang dimaksud oleh ungkapan bahasa.
b. Lafaz yang bukan menurut arti dasarnya itu dipinjamkan untuk
digunakan dalam member arti apa yang dimaksud
c. Sasaran dari arti lafaz yang
digunakan dengan sasaran dari arti lafaz yang dipinjamkan adalah punya
kaitannya.[9]
B.
Klasifikasi Haqiqah dan Majaz
Haqiqah diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk, yaitu :
1.
Lughawiyyah
Wadh`iyyah
Lughawiyyah Wadh`iyyah atau biasa disebut dengan al-haqiqah
al-lughawiyyah ini adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan makna
hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Contohnya kata ar-rajul
yang digunakan untuk mennyebut laki-laki dewasa.
2.
Lughawiyyah
Manqulah
Lughawiyyah Manqulah ini adalah kata yang digunakan untuk
menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi atau perubahan makna.
Perubahan ini dilakukan oleh ahli bahasa, atau syari’at. Pada bagian ini,
terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu :
a.
Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah
Yaitu kata yang mengalami transformasi makna, dari makna
asal penggunaannya kepada makna lain yang kemudian makna tersebut menjadi
populer sehingga makna asalnya ditinggalkan.
Contohnya, kata ad-dabbah yang artinya hewan melata,
konotasinya bisa manusia dan hewan. Namun kemudian digunakan oleh orang Arab
dengan konotasi hewan berkaki empat saja sehingga makna awalnya ditinggalkan.
b.
Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah
Yaitu kata yang mengalami trasformasi makna, dari makna asal
kepada makna yang lain yang digunakan oleh pembuat syri`at. Makna yang lain ini
berdasarkan dalil syari’at, contohnya shalat, shiyam, al-kufr, dan
sebagainya[10]
Dari beberapa klasifikasi haqiqah tersebut, dapat disimpulkan bahwa haqiqah lughowiyyah
wadh`iyyah adalah kata yang digunakan sesuai makna hakikinya, sedangkan haqiqah
lughowiyyah manqulah adalah makna yang menunjukkan makna asal setelah mengalami
transformasi makna, baik secara bahasa, maupun secara syari`at.
Majaz dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu :
1.Adanya
tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya.Seandainya di
hilangkan tambahan kata itu,sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.Umpamanya
tambahan kata yang berarti
“seperti”yang terdapat dalam firman Allah,surat al-Syura ayat 11. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ Tidak ada seperti semisal
sesuatupun.
Seandainya
kata (seperti)itu tidak ada,sebenarnya
tidak mengurangi artinya.Adanya tambahan ini menempatkannya sebagai
majaz,karena berlebihan dari hakikatnya.
2 .Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata
dari yang sebenarnya.Kebenaran maksud dari lafadz itu terletak pada yang kurang
itu.Misal Surat Yusuf ayat 28. وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ Tanyalah kampung itu
Pengertian dalam bentuk
hakikatnya adalah “tanyalah penduduk kampung itu”.Adanya kekurangan kata
“penduduk”dalam kata “kampung”diatas menjadikannya sebagai majaz.
3.Mendahulukan dan membelakangkan atau dala
pengertian”menukar kedudukan suatu kata” Umpamanya Firman Allah surat An-Nisa’
Ayat 11.
مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Sesudah
mengeluarkan wasiatnya dan membayarkan hutangnya
Maksud
sebenarnya adalah “sesudah membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiatnya.
4.Meminjam
kata lain atau isti’aroh.Yaitu menamakan sesuatu dengan
menggunakan(meminjam)kata lain,seperti memberi nama A yang “pemberani”
dengan”singa”
Isti’arah(meminjam
kata lain)itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan majaz.[11]
C.
Signifikansi Haqiqah dan Majaz
Setelah memahami haqiqah dari berbagai macam pengertian, dan
melihat dari klasifikasinya, haqiqah memiliki signifikansi sebagai berikut :
1.
Dengan mempelajari haqiqah, dapat
memahami suatu makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik;
2.
Kemudian dapat membedakan, antara
kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan mana pula kata yang
harus dimaknai setelah mengalami transformasi;
3.
Dapat memahami bahwa kata asal yang
mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki
maksud tertentu.
Kemudian Majaz memiliki signifikansi
sebagai berikut:
1. Al-iijaz yakni
memperingkas suatu kalimat atau ungkapan, seperti kalimat: بنى الأمير
المدينةَ (seorang amir telah membangun suatu kota)
lebih ringas daripada dengan menyebutkan البنائينَ
والمهندسينَ (perumahan-perumhan dan para insinyur) dan
sebagainya.
2. Memperluas
lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya
memiliki satu komposisi.
3. Menampilkan
suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.
D.Ketentuan
yang berhubungan dengan Haqiqoh dan Majaz
Ada beberapa
ketentuan atau hukum yang perlu di perhatikan berkenaan dengan Haqiqoh dan
Majaz,yaitu:
1.Bila suatu
lafadz digunakan antara haqiqoh da majaz,maka lafadz itu di tetapkan sebagai
haqiqoh,karena menurut asalnya penggunaan suatu lafadz atau kata adalah untuk
haqiqohnya.
Lafad itupun bukan mujmal kecuali bila ada
dalil yang menunjukkan bahwa yang di maksudkan adalah majaz.Dengan menjadikan
setiap lafad yang memungkinkan untuk dijadikan majaz sebagai mujmal,maka akan
tercapai apa yang dimaksud,yaitu pemahaman.
2.Pada
haqiqoh harus ada sasaran atau maudhu dari lafad yang digunakan,baik dalam
bentuk perintah atau larangan,dalam bentuk umum atau khusus.Dan dalam kedua
bentuk lafad itu tidak ada pertentangan,karena majaz adalah pengganti
haqiqoh.dalam hal ini terdapat kaidah:”Asal penggunaan lafad itu adalah haqiqoh
dan tidak beralih kepada majaz,kecuali ada hajat atau darurat”
3.Haqiqoh
dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafadz dalam keadaan yang
sama,Artinya,masing masing harus mengikuti tujuan sendiri sendiri;karena
haqiqoh adalah asalnya dan majaz hanya kata yang di pinjam.
Bila yang di maksud suatu lafad adalah
haqiqoh maka majaz tidak di perlukan.Sebaliknya bila yang di maksud suatu lafad
adalah majaz maka haqiqohnya tidak diperlukan lagi.[12]
BAB III
AL-WUJUH WA NAZHA’IR
A.Pengertian
Al-wujuh wa Nazha’ir
Kaidah
Al-wujuh dan nazha’ir merupakan salah satu qaidah yang dibutuhkan
oleh seorang mufassir, seorang mufassir dari zaman klasik-kontemporer harus
memahami kaidah ini. Hal ini berdasarkan hadits mauquf dari riwayat yang
dikeluarkan oleh ibn sa’d dari abi darda’, (namun ada yang mengatakan hadits
ini riwayat dari muqotil) menyatakan bahwa: “Seseorang tidak akan
benar-benar paham Al-Qur’an sebelum ia mengetahui makna yang beragam dalam
Al-Qur’an” [13]
Menurut
arti bahasa Al-wujuh dan nazha’ir mempunyai arti sebagai berikut;
Al-wujuh merupakan lafal jama’ dari bentuk mufrod wajhun sehingga
berarti bermacam-macam/beragam, sedangkan lafal nazha’ir juga bentuk
jama’ dari lafal nadzrun yang berarti kesamaan atau sepadan[14].
Bermula dari arti bahasa tersebut maka muncul pengertian bahwa Al-wujuh
ialah lafal yang mempunyai arti/makna banyak yang digunakan dalam pelbagai
bentuk jumlah kalimat yang berbeda-beda. Dan nazha’ir adalah lafal yang
bersepakat mempunyai arti sama walaupun dalam bentuk jumlah kalimat (ayat-ayat
Al-Qur’an) yang berbeda-beda.
Imam
Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif Al-wujuh dan nazha’ir:
Al-wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazha’ir adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (lafaz al-mutawathi’ah)[15]. Iman Az- Zarkasyi dalam kitabnya Al- Burhan fi Ulum Al- Qur’an, mendefinisikan Al-wujuh dan nazha’ir secara sederhana,.Az-Zarkasyi mengemukakan bahwa Al-wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya yang beragam. Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.
Al-wujuh adalah lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti lafaz ‘ummah’. Dan nazha’ir adalah seperti lafaz-lafaz yang bersesuaian (lafaz al-mutawathi’ah)[15]. Iman Az- Zarkasyi dalam kitabnya Al- Burhan fi Ulum Al- Qur’an, mendefinisikan Al-wujuh dan nazha’ir secara sederhana,.Az-Zarkasyi mengemukakan bahwa Al-wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna ganda yang digunakan dalam maknanya yang beragam. Sedangkan nazha’ir adalah lafal yang memiliki suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam berbagai tempat.
Sedangkan
menurut jamaluddin abi al-faraj Abdurrahman ibn aljauziy yaitu“Adanya suatu
kata yang disebutkan dalam tempat tertentu dalam Al-Qur’an dengan suatu lafaz
dan harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat
lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang disebutkan
pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda pada setiap
tempatnya disebut Al-wujuh, Jadi nazha’ir sebutan untuk lafaz dan Al-wujuh
sebutan untuk makna yang beragam.”
Kata Al-wujuh
telah dipakai dalam sebuah hadits marfu’[16],
dan kata ini juga pernah dicetuskan oleh ungkapan yang disampaikan Ali bin Abi
Thalib ra[17].
Ini merupakan ungkapan pertama yang menggunakan kata Al-wujuh terkait dengan nash al-Qur’an.Karangan
mengenai Al-wujuh dan nazhair telah ada semenjak abad kedua Hijriah, yaitu
karangan Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H). Disamping itu, juga terdapat
karangan-karangan yang tidak sampai kepada kita secara kongkrit, melainkan
hanya dalam bentuk informasi, yaitu karangan ‘Ikrimah Maula Ibn ‘Abbas (w. 105
H) dan La’la bin Abi Thalhah (w. 143).[18]
Jadi,
sederhananya wajh merupakan pemahaman mufassir terhadap suatu kata
dalam tempat tertentu dengan makna tertentu. Dan wajh lainnya adalah
pemahaman mufassir terhadap kata yang sama pada tempat lainnya dengan makna
yang berbeda dengan pemahaman pertama. Sementara nazhair, sebagaimana
definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz, maka kata yang disebutkan pada suatu
tempat, sama (nazhirun) dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Berarti,
kata-kata yang terulang dalam beberapa tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah
mengalami pengulangan kata itu sendiri (lais huwa nafsuhu), melainkan
kata yang sama (nazhiruhu).[19]
Jadi, kata kitab misalnya, yang terdapat di banyak tempat dalam Alquran,
pada dasarnya tidak disebutkan berulang, hanya saja disampaikan kata yang sama
dengannya (nazhiruhu). Kitab yang disebutkan pada tempat A, bukanlah
kitab yang disebutkan pada tempat
Di
samping itu, Imam Al-Shuyuti menjelaskan pengertian definitif Al-wujuh
dan nazhair:
Al-wujuh
adalah
lafaz musytarak yang digunakan dalam beberapa ragam maknanya, seperti
lafaz ‘ummah’. Dan nazhair adalah seperti lafaz-lafaz yang
bersesuaian (alfaz al-mutawathi’ah).[20]
Akan
tetapi, Salwa Muhammad mengkritik definisi ini. Menurutnya, pada definisi ini
terjadi pencampuradukan antara sudut pandang bahasa Alquran dengan sudut
pandang bahasa Arab. Memang Alquran berbahasa Arab, namun bahasa Alquran lebih
khas dari bahasa Arab sehingga bahasa Arab merupakan alat bantu untuk memahami
bahasa Alquran.
Salwa
Muhammad mempertanyakan redaksi “musytarak” dalam definisi di atas. Pada
dasarnya, musytarak merupakan suatu terminologi dalam ilmu bahasa Arab.
Ia menyatakan bahwa Al-Shuyuti tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan musytarak
di sana lafaz-lafaz yang memiliki banyak makna terkhusus bagi Alquran
ataukah dalam penggunaan bahasa secara umum, atau keduanya sama saja. akan
tetapi, menurut Salwa Muhammad, hal itu berbeda. Karena mungkin saja ada lafaz
yang musytarak secara bahasa, namun tidak terdapat dalam Alquran, atau
lafaz musytarak tersebut dalam Alquran hanya mempunyai satu tunjukan
makna saja, atau mungkin juga musytarak-nya suatu lafaz hanya pada
Alquran saja, dalam artian, orang Arab sendiri baru mengetahui bahwa lafaz itu musytarak
semenjak ditunjukkan oleh Alquran.[21]
Akan tetapi, sayangnya Ia tidak mencantumkan kemungkinan-kemungkinan yang
disuguhkannya.
B. Wajuh
dan Nazhair dalam
Al-Qur’an
Para
mufassir telah meneliti bahwa tidak sedikit kata-kata dalam Alquran yang keluar
beberapa kali, dan setiap kali kata itu digunakan pada suatu tempat
(kalimat/ayat), akan bermakna berbeda dengan penggunaannya pada tempat lain.[22]
Dalam
al-Itsqan, setelah dipelajari, terdapat sepuluh kata yang mempunyai
banyak makna. Kata-kata tersebut adalah: (1) huda, yang mempunyai tujuh
belas makna, (2) al-su’u yang mempunyai sebelas arti yang berbeda, (3) al-shalah
yang mempunyai sembilan makna, (4) al-rahmah yang mempunyai empat
belas makna, (5) al-fitnah yang mempunyai lima belas makna, (6) al-ruh
dengan sembilan makna, (7) al-qadha dengan lima belas arti, (8) al-zikru
yang mempunyai tujuh belas makna, (9) al-du’a yang mempunyai enam
makna, dan (10) al-ihshan dengan tiga makna. Selanjutnya, juga disampaikan
kata-kata yang mempunyai makna seragam dengan satu pengecualian, seperti kata al-asaf
yang berarti “kesedihan”, dalam satu ayat ia jadi bermakna menjadikan
marah.[23]
Karya-karya dalam ilmu Al-wujuh
wa nazhoir, antaralain:
1) al-Al-wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Azhim, karangan Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H).
2) al-Al-wujuh wa an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim, karangan Harun bin Musa (w. 170H).
3) at-Tashorif, karangan Yahya
bin Salam (w. 200H).
4) Tahshilu nazhoir al-Qur’an, karangan Hakim
at-Tirmidzi (w. 320 H)
5) Al-wujuh al-Qur’an, karangan
al-Hairy (w.430 H).
6) al-Al-wujuh wa an-Nazhoir li alfazdi Kitabullah al-‘Aziz, karangan ad-Damigany (w.478).
7) Nuzhatul al- A’yan al-Nawazhir fi ‘Ilmi al-Al-wujuh wa an-Nazha’ir fi
al-Qur’an al-Karim,karangan Ibnu
Jauzi (w. 597 H).
8) Kasyfu al-Sarair fi Ma’na al-Al-wujuh wa al-Asybah wa an-Nazhair,karangan Ibnu ‘Imad al-Masry (w.887 H).
9) Mu’tariku al-aqran fi Musytaraki al-Qur’an, karangan Imam Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H).
10) al-Al-wujuh wa
an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Muwazanah, Disertasi Dr.Sulaiman bin Sholih al-Qor’awy dicetak tahun 1410 H.
11) al-Al-wujuh wa
an-Nazhoir fi al-Qur’an al-Karim, Tesis Salwa
Muhammad al-‘Awwal di Universiatas ‘Ain Syams dicetak tahun 1998 M
12) al-Al-wujuh wa
an-Nazhoir fi al-Qur’an Dirasah Taasiliyyah, karangan Dr.Ahmad Muhammad al-Baridy
13) Ma’rifah al-Al-wujuh
wa an-Nazhair fi al-Qur’ani al-Karim, karangan Syekh
Muhammad bin Umar Bazmul. [24]
Ibnu Jauzi mendefinisikan al-Al-wujuh wa al-nazha’ir, sebagaimana dikutip oleh Salwa Muhammad, sebagai:
“Adanya suatu kata
yang disebutkan dalam tempat tertentu dalam al-Qur’an dengan suatu lafaz dan
harkat tertentu, dan dimaksudkan untuk makna yang berbeda dengan tempat
lainnya. Maka, kata yang disebutkan pada suatu tempat, sama dengan yang
disebutkan pada tempat lainnya. Dan penafsiran makna setiap katanya berbeda
pada setiap tempatnya disebut Al-wujuh, Jadi nazhair sebutan untuk lafaz dan
nazhair sebutan untuk makna yang beragam.”
Berbeda dengan
Salwa Muhammad, Imam az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
mendefinisikan Al-wujuh dan nazha’ir secara sederhana, az-Zarkasyi
mengemukakan bahwa Al-wujuh adalah suatu lafal yang memiliki makna
ganda yang digunakan dalam maknanya yang berberagam.Sedangkan nazha’ir adalah lafal
yang memiliki suatu makna tertentu yang tetap sekalipun digunakan dalam
berbagai tempat.
C.
Contoh-contoh
al-Al-wujuh wa Nazhair dalam al-Qur’an
1.
Kata al-Huda mempunyai 18 ragam makna dalam ayat
Al-Qur’an, di
antaranya yaitu:
a)
al-S|abat (tetap)
اهدنا الصراط المستقيم
Artinya:
Teguhkanlah kami pada jalan yang lurus (al-Fatihah: 6)
b) al-Bayan
(petunjuk)
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ
رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Merekalah
yang berada dalam penjelasan Tuhan dan mereka akan berhasil (al-Baqarah: 5)
c)
al-Din (agama)
قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى
اللَّهِ أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ
رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيم
ٌ
Terjemahnya:
Katakanlah, “Agama
yang benar ialah agama Allah: (takutlah kamu) supaya tidak ada yang akan
diturunkan kepada orang lain seperti yang telah diturunkan kepada kamu atau
mereka (yang menerima wahyu demikian) akan membantah kamu di depan Tuhanmu?”
Katakanlah, “Segala karunia di tangan Allah, diberikan kepada yang Ia
kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Tahu”.(Ali Imran:73)
d) al-Iman
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ
اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ
ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا
Terjemahnya:
Dan Allah akan
menamabah keimanan kepada mereka yang telah dikaruniakan iman dan amal
kebaikan kekal, dalam pandangan Tuhanmu itulah yang terbaik sebagai pahala dan
yang terbaik sebagai tempat kembali (Maryam:.76)
e)
ad-Da’i(penyeru)
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا
أُنْزِلَ عَلَيْهِ آَيَةٌ مِنْ رَبِّهِ إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ
هَادٍ
Terjemahnya:
Dan
orang-orang kafirberkata: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya sebuah ayat dari
Tuhannya? ” Tetapi engkau
adalah seorang pemberi peringatan, dan pada setiap golongan ada seorang penyeru (al-Ra’d:7)
f)
al-Rasul dan al-Kitab
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُ
Terjemahnya:
Kami berfirman,
“Turunlah kamu sekalian dari sini, maka apabila datang kepadamu rasul dan
kitab Aku, siapa pun mengikuti rasul dan kitab-Ku tak perlu
khawatir, tak perlu bersedih (al-Baqarah: 38)
g) al-Ma’rifah (pengetahuan)
…وَبِالنَّجْمِ
هُمْ يَهْتَدُون
Terjemahnya:
Dan
rambu-rambudandenganbintang-bintangmerekamengetahui. (al-Najm: 16)
h) Nabi SAW
إنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا
أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ
لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ
اللَّاعِنُونَ
Terjemahnya:
Mereka yang
menyembunyikan segala keterangan (ayat-ayat) dan Nabi yang Kami
turunkan setelah dijelaskan dalam kitab kepada manusia, mereka mendapat laknat
Allah, dan laknat mereka yang berhak melaknat (al-Baqarah: 159)
2.
Kata al-Akhirat mempunyai 7 ragam makna dalam ayat
Al-Qur’an, di
antaranya yaitu :
a)
al-Bi’tsa ba’da Maut (Hari kebangitan dari Alam Kubur)
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ
يُوقِنُونَ
Terjemahnya:
Dan mereka yang
beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab
yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akhirat.(al-Baqoroh:4)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا
بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
Di antara
manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,
pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(al-Baqoroh:8)
b) al-Qismah (Sumpah/Janji)
وَأَنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ
أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Terjemahnya:
dan sesungguhnya
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan
bagi mereka azab yang
pedih.(al-Isro’:10)
c)
al-Jannah (Surga)
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ
مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ
أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
..... Demi,
sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab
Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat
jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka
mengetahui.(al-Baqoroh:102)
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ
اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي
الْآخِرَة
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat
bahagian (pahala) di akhirat, ...( Ali Imran : 77)
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya hari
kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(permulaan).(adh-Dhuha:4)
3.
Kata al-Ardhi mempunyai 7 ragam makna dalam ayat
Al-Qur’an, di
antaranya yaitu :
a)
al-Ardhi (bumi)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ
بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ
فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ
دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُون
Terjemahnya:
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi
sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis
hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumisungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.(al-Baqarah:164)
b) Ardhi Makkah (Makkah)
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ
ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ ۖ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ
فِي الْأَرْضِ
Terjemahnya:
Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di
negeri (Mekah)..... (an-Nisa:97)
c)
Ardhi Madinah (Madinah)
قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ
اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا ۚ فَأُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Terjemahnya:
….Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah
itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu
tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.(an-Nisa:97)
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً
Terjemahnya:
Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezeki yang banyak... .(an-Nisa:100)
d) Ardhi al-Muqoddas
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ
كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي
بَارَكْنَا فِيهَا
Terjemahnya:
Dan Kami pusakakan
kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi
dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya....(al-A'raf : 137)
وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى
الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ
Terjemahnya:
Dan Kami
seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya
untuk sekalian manusia.( al-Anbiyaa : 71)
e)
Ardhi Misr( Mesir)
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ
ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Berkata Yusuf:
"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".(Yusuf: 55)
4.
Kata ad-Du’a mempunyai 6 ragam makna dalam ayat
Al-Qur’an, yaitu :
a)
al-Ibadah
ولا تدع من دون الله ما لا
ينفعك ولا يضرك
Terjemahnya:
Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak
(pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah...(Yunus:106)
b) al-Isti’anah (meminta pertolongan)
وادعوا شهداءكم
Terjemahnya:
....dan ajaklah
penolong-penolongmu ....(al-Baqarah:3)
c)
as-Sual (Permintaan secara umum)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
Terjemahnya:
Dan Tuhanmu
berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan
bagimu,.....(Ghâfir: 60)
D.
Urgensi Al-wujuh wa Nazha’ir
Adapun
beberapa urgensi dari Al-wujuh wan nazha’ir sebagai kaidah dalam penafsiran,
diantaranya:
1. Menunjukkan kemu’zijatan al-Qur’an dari segi bahasa atau linguistik dan
juga menunjukkan begitu kayanya bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an.
2. Sebagai kaidah dalam penafsiran, maka Al-wujuh wan nazair ini berguna untuk
mempermudah dalam menafsirkan al-Qur’an.
3. Konsekuensi dari pengetahuan terhadap Al-wujuh wan nazair itu mendapatkan
pemahaman yang benar sesuai kondisi objek teks atau firman tertulis dalam
bahasa itu sendiri.
4. Kaidah kebahasaan tidak bisa dilepaskan dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini
merupakan salah satu bukti konkret yang tidak bisa dielakkan.
5. Dalam menafsirkan al-Qur’an selain memperhatikan teksnya, juga
memperhatikan konteksnya, karena tidak semua lafadz-lafadz yang ada dalam ayat
al-Qur’an itu menghendaki makna dasarnya (sesuatu yang melekat pada kata itu
sendiri, yang selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan), terkadang yang
dikehendaki adalah makna relasionalnya (sesuatu yang konotatif yang diberikan
dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada
posisi khusus dalam bidang khusus).[25]
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.Kesimpulan
Haqiqah adalah sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang
digunakan seperti makna semulanya yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan
tertentu. Haqiqah lughowiyyah wadh`iyyah adalah kata yang digunakan sesuai
makna hakikinya, sedangkan haqiqah lughowiyyah manqulah adalah makna yang
menunjukkan makna asal setelah mengalami transformasi makna, baik secara
bahasa, maupun secara syari`at.
Majaz adalah sebuah kalimat di dalam al-Qur’an yang pada
ungkapannya tidak sesuai dengan makna asalnya, namun terdapat hubungan dengan
maksud kedua dari ungkapan itu.
Jadi,
sederhanany wajh merupakan pemahaman mufassir terhadap suatu kata
dalam tempat tertentu dengan makna tertentu. Dan wajh lainnya adalah
pemahaman mufassir terhadap kata yang sama pada tempat lainnya dengan makna
yang berbeda dengan pemahaman pertama. Sementara nazhair, sebagaimana
definisi Ibn Jauzi, sebutan bagi lafaz, maka kata yang disebutkan pada suatu
tempat, sama (nazhirun) dengan yang disebutkan pada tempat lainnya. Berarti,
kata-kata yang terulang dalam beberapa tempat dalam Alquran tersebut, bukanlah
mengalami pengulangan kata itu sendiri (lais huwa nafsuhu), melainkan
kata yang sama (nazhiruhu).Jadi, kata kitab misalnya, yang
terdapat di banyak tempat dalam Alquran, pada dasarnya tidak disebutkan
berulang, hanya saja disampaikan kata yang sama dengannya (nazhiruhu).
B.Saran saran
Penulis yakin dengan
kesulitan yang dihadapi ketika menulis makalah ini,sehingga kesalahan dan
kekurangan akan terjadi disana sini.Oleh sebab itu saran dan kritik membangun
untuk memperbaiki makalah ini menjadi harapan penulis,sehingga menambah baiknya
penyajian makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
al-‘Awwa, Salwa Muhammad. al-Wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim.
Kairo: Dar el-Syuruq. 1998.
Al-Shuyuti, Jalaluddin. Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an.Juz 1.Maktabah
al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008
Al-Zarkasyi. Al-Burhan fi
Ulum al-Qur’an Juz 1 . Maktabah al-Syamilah. Pustaka Ridwana. 2008.
Amir
Syarifudin. Ushul Fiqih. Jilit 2. Cet. V. Jakatra: Kencana.2008
Dahlan,
Abd Rahman,Ushul Fiqh.Jakarta ,AMZAH.2010
Hafidz
Abdurrahman. Ulumul Qur’an. Bogor.2004
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus
Al-Munawwir. Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren Krapyak.
http://bisritujang.wordpress.com/2012/10/31/288/,diunduh
pada tanggal 25/05/2015.
https://qistiya.wordpress.com/2013 diakses tanggal
25 Mei 2015
Avatarzaharuddin.blogspot.com/2014
diakses tanggal 25 Mei 2015
[1] Amir
Syarifudin, 2008, Ushul Fiqih, Jilit 2, Cet. V, Jakatra: Kencana, h. 25 (Lihat juga dalam Abd Rahman
Dahlan,2010.Ushul Fiqh,Jakarta,AMZAH.h.297
[8]
Ibid,h 27
[10]
Ibid,h 26
[11]
Ibid h 29
[13] Muhammad
Bin Alwi Al-Maliki Al-Hasaniy “Zubdatul Itqon Fiy ‘Ulumil Qur’an” Hal. 70
Beirut : Dar El-Fikr
لا يكونs الرجل فقيها كل
الفقه حتى يرى للقرآن وجوها كثيرة
Artinya:
Seseorang tidak akan benar-benar paham al-Qur’an sebelum ia mengetahui makna
yang beragam dalam al-Qur’an
اذهب اليهم فخصامهم ولا تحاجهم بالقرآن فإنهم حمال ذو وجوه
ولكن خاصمهم باسنة
[18] Salwa Muhammad
al-’Awwa, al-Al-wujuh wa al-Nazhair fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar
el-Syuruq, 1998), hlm. 19.
[19] Ibid,h 42
[20] Al-Shuyuti, Al-Itsqan fi Ulum al-Qur’an Juz 1 hlm.
164. Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwana, 2008.
[21]
Opcit h 42
[25]
Avatarzaharuddin.blogspot.com/2014 diakses tanggal 25 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar