Oleh: AHMAD HADIRI
Penghulu Muda KUA Kec. Klojen
“Demokrasi “ sebuah kata yang sangat sakral pada era modern ini bila
menyangkut soal politik dan kenegaraan .Sehingga siapapun merasa kikuk,apakah itu
Presiden,ketua partai bahkan pemimpin agama pun bila di cap “tidak demokratis”.
Karena kita mengetahui bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat .
Diskursus “demokrasi” mulai
berkembang pada abad ke 17 dan 18 masehi.Kehadirannya sebagai respon atas
absolutisme raja raja dan kaum feodal saat itu.Gap kelas atas(penguasa) dan
kelas bawah(rakyat)menghendaki adanya gagasan persamaan derajat(almusawah)suatu
perlakuan yang sama di hadapan hukum,penegakan keadilan tanpa pandang bulu(al
‘adalah)serta kebebasan ber ekspresi(al hurriyah)
Secara sederhana Demokrasi dapat di
artikan sebagai Pemerintahan dari,oleh dan untuk rakyat.Sistem ini menuntut
partisipasi langsung warga suatu bangsa untuk menentukan roda
kepemerintahan.Rakyat sebagai pemilik kedaulatan,selain memiliki kewajiban,juga
mempunyai hak.[1]
Penegakan keadilan,persamaan hak dan
pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat sebagai pilar pilar demokrasi
merupakan interpretasi real dari nilai nilai agama.dalam lintas sejarah tidak
ditemukan agama agama yang tidak mengupayakan pemberdayaan umat manusia.
Misalnya, Nabi Musa hadir untuk
menentang kelaliman Fir’aun,Nabi Ibrahim datang untuk menumpas absolutisme
Namrud,Yesus hadir untuk menentang kesewenang wenangan imperium Romawi dan Nabi
Muhammad berhadapan dengan konglomerasi bangsa Arab.[2]
Agama dan Demokrasi
Esensi demokrasi yang selaras dengan
nilai nilai agama dalam wilayah praktis sering terjadi over laping .Para
pemeluk agama(tokoh agama)sering menunjukkan eksklusivitas beragama yang seakan
akan dirinya paling benar dan masuk surga.Ujungnya,kohesivitas teleransi agama
yang seharusnya di realisasikan menjadi porak poranda.[3]
Nilai nilai demokratisasi dalam aplikasinya
harus di topang dengan penerapan HAM,guna memanusiakan manusia di hadapan
Tuhan.Pola ini sangat relevan dengan esensi agama ynag menginginkan terwujudnya
cinta –kasih sesama manusia da sisi Nya.
Posisi diametral antar agama dan
demokrasi memang selamanya tidak akan menemui titik temu mana kala paradigma
yang di tonjolkan dalam beragama melalui paradigma legal formal.Legalitas dan
formalitas beragama berarti menempatkan agama sebagai”kendaraan politik”padahal
pengalaman sejarah menunjukkan bahwa politisasi agama selalu membawa kepada
distorsi atas agama itu sendiri.
Sampai saat ini masih ada pendapat
yang mengatakan bahwa demokrasi itu berlawanan dengan Islam,bahkan mereka
mengutip dari sebagian ulamak bahwa demokrasi itu adalah kafir.mereka beralasan
bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan rakyat terhadap rakyat,sedangkan
menurut Islam rakyat bukanlah pihak yang memerintah,tetapi hanya Allah lah
berhak memerintah dan memutuskan.Firmannya”Menetapkan hukum itu hanya hak
Allah”(al-an’am ayat 57)[4]
Yusuf Qardhawy mengatakan “Saya
sangat menyayangkan terjadinya kekeliruan yang fatal tersebut,sehingga yang hak
dan yang batil bercampur baur di kalangan kaum muslimin yang taat dan yang
awam,khususnya di kalangan mereka yang mengatasnamakan agama.sehingga gampang
orang di tuduh kafir karena hal hal sepele.
Sesungguhnya hakikat demokrasi
adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan
mereka,tidak boleh di paksakan kepada mereka penguasa yang tidak mereka sukai
atau rezim yang mereka benci,mereka diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila
dia keliru,diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila dia
menyimpang,mereka tidak boleh di giring dengan paksa untuk mengikuti berbagai
sistem ekonomi,sosial dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka
sukai.bila sebagian mereka menolak maka mereka tidk boleh di siksa ,dianiaya
atau di bunuh.[5]
Kata Yusuf Qardhawy inilah demokrasi
yang sebenarnya,dimanakah pertentangannya dengan Islam??Deangan demikian maka
bisa di simpulkan bahwa demokrasi sejalan dengan ajaran Islam dan tidak ada
sisi sisi pertentangannya.
Islam Punyakah
Konsep Kenegaraan??
Pertanyaan diatas adalah apa yang di
tuliskan Gus Dur(Abdurrahman Wahid)dalam bukunya yang berjudul “MENGURAI
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA”karena masalah konsep negara dalam Islam masih
menjadi titik pusat perhatian gerakan gerakan Islam di seluruh dunia.
Ali Abdel Raziq,di Mesir,pada tahun
40 han menulis buku Al Islam Wa Qawa’id al Shulthan(Islam dan sendi sendi
kekuasaan) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul,Islam
And The Base of Power, dalam buku ini ia menyangkal adanya kerangka
kenegaraan dalam Islam.Alqur’an tidak pernah menyebut sebuah “negara Islam”(daulah
Islamiyah,an Islamic State)katanya.Hanya menyebut negara yang baik,penuh
pengampunan Tuhan(baldatun thayyibatun warobbun ghafur)[6]
Ucapan ini kemudian mengundang
reaksi keras di Mesir terutama dari para Ilmuwan Al Azhar.Akibatnya Ia di
keluarkan dari pekerjaannya yang berurusan dengan Islam dan kepentingan umum(public
office)bukunya disita dan pikirannya di berangus.
Menurut Ali Abdel Raziq, kalau
memang Nabi menghendaki berdirinya “negara Islam”mustahil masalah suksesi
kepemimpinan dan peralihan kekuasaan tidak di rumuskan secara formal.Nabi Cuma
memerintahkan “bermusyawarahlah kalian dalam persoalan”masalah seperti ini
bukannya di lembagakan secara kongkrit,melainkan di cakupkan dengan sebuah
diktum saja,yaitu “maslah mereka(haruslah) di musyawarahkan antara mereka.Mana
ada negara dengan bentuk semacam itu?[7]
Menurut Gus Dur kalau di lihat
sepintas lalu saja,sebenarnya Al Qur’an sendiri telah menyinggung entitas yang
bernama bangsa itu,Allah Berfirman”sesungguhnya telah Ku ciptakan kalian
dari(jenis)pria dan wanita,dan Ku jadikan kalian berbangsa bangsa dan bersuku
suku agar saling mengenal.Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah
(mereka) yang paling bertaqwa”lebih lanjut Gus Dur kalau sudah ada secara
eksplisit dalam Al Qur’an menyebutkan adanya bangsa,mengapa ada kesulitan mencari
kaitan antara Islam dan wawasan ke bangsaan??Karena wawasan kebangsaan pada
zaman modern ini sudah berarti lain yaitu satuan politis yang di dukung oleh
sebuah ideolagi nasional.[8]
Dalam hubungannya dengan
negara,Islam memiliki tiga pandangan utama.
1.Adanya pandangan untuk mendirikan
sebuah negara yang husus Islam,seperti Iran,Arab Saudi,dan Pakistan.
2.Pandangan bahwa Islam adalah agama
resmi negara namun negaranya sendiri bukan negara Islam,seperti Malaysia.
3.Antar Agama dan Negara tidak di
kaitkan secara konstitusional,namun hak melaksanakan syari’ah di benarkan oleh
negara negara, seperti Indonesia.[9]
Rambu Rambu Negara yang di bangun
Islam menurut Yusuf Qardhawy adalah:
Negara Madani yang berlandaskan
Islam,ditegakkan berdasarkan Bai’at dan musyawarah,pemimpinnya di pilih dari
kalangan orang jujur,kuat dan terpercaya serta penuh perhatian.
Negara Internasional,negara Islam
bukanlah negara rasisme dan regionalisme
Negara konstitusional berdasarkan
Syariat,konstitusi negara Islam adalah berbagai prinsip dan hukum syariat yang
di bawa oileh AL Qur’an dan di jelaskan oleh Sunnah Rasulullah yang berkaitan
dengan akidah,ibadah,moral,pergaulan sosial,dll
Negara musyawarah bukan negara
kerajaan,Negara Islam bukanlah negara kerajaan yang di wariskan secara turun
temurun dan membatasi kekuasaan hanya pada satu keluargasaja.
Negara Islam menurut nya di bangun
atas dasar prinsip demokrasi yang baik,tetapi bukanlah duplikat dari negara
demokrasi barat.[10]
Negara Islam serupa dengan negara
demokrasi barat dalam hal rakyat harus memilih kepala negara.
Negara Islam serupa dengan negara
demokrasi barat dalam hal tanggung jawab kepala negara di hadapan wakil wakil
rakyat.
Rujukan
[1]
Said Aqiel Siradj,Islam Kebangsaan,1999.Jakarta,Pustaka Ciganjur,Hal 88
[2] Ibid
Hal 88
[3]
Ibid Hal 89
[4]
Yusuf Qardhawy,Fiqh Negara,1997,Dar Asy-Syuruq,Kairo.Hal 165
[5]
Ibid Hal 167
[6]
Abdurrahman Wahid,Mengurai Hubungan Agama dan Negara,1999,Jakarta,Grasindo,Hal
63-64
[7]
Ibid Hal 64
[8]
Ibid hal 72
[9]
Ibid Hal 91
[10]
Yusuf Qardhawy,Fiqh Negara,1997,Dar Asy-Syuruq,Kairo.Hal 37
0 komentar:
Posting Komentar