Berkaitan dengan hukum nikah, ada bebeapa hal penting yang
perlu dicermati. Pertama Imam Haramain
(419H/1028 M-478 H/1085M) menjelaskan bahwa pernikahan itu masuk pada katagori
pemenuhan syahwat, bukan dari ibadah atau proses mendekat pada Allah secara
murni.
Dalam hal ini Imam Syafii mengisyaratkan dalam kitabnya al Umm sebagai
berikut:
زين للناس حب الشهوات من النساء
Dan dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa yang diinginkannya, yaitu
para wanita… QS. Ali Imran 3.14
Dalam hadits juga disebutkan:
حبب الي من دنياكم : النساء والطيب وجعلت قرة عيني في الصلاة
Aku telah dijadikan menyukai bagian dari dunia kalian,
yaitu mencinta isteri dan wewangian, dan dijadikan penenang hatiku di dalam
shalat.
Melestarikan keturunan merupakan perkara dzanny, kita
tidak bisa memastikan keturunan yang lahir dari perkawinan itu akan menjadi
orang yang baik atau orang jahat.
Sebagaimana perkara yang bukan murni ibadah, untuk
menjadikannya bernilai ibadah maka butuh niat. Karenanya terkait dengan
pernikahan Imam Nawawi pernah menuturkan:” apabila tujuan seseorang menikah
adalah untuk menjalankan ketaatan seperti mengikut sunnah, memperoleh
keturunan, menjaga kehormatan, atau menjaga pandangan mata, maka pernikahannya
termasuk amal akhirat dan berpahala.”
Imam Abu Ishaq dalam kitab al Muhadzab menyatakan : “nikah
itu hukumnya mubah karena bisa untuk memperoleh kenikmatan yang dapat meredakan
nafsu. Artinya pernikahan itu tidak wajib sebagaimana memakai pakaian dan
mengkonsumsi makanan yang baik.
Namun, terkadang hukum nikah berubah menjadi sunnah, bagi seseorang
yang memiliki keinginan kuat untuk berhubungan suami isteri dan dia mampu
memberi mahar dan nafkah. Artinya bagi seseorang yang belum memiliki keinginan
kuat untuk berhubungan suami isteri, sebaiknya tidak menikah dahulu. Sebab, dengan menikah dia akan dihadapkan pada
sejumlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi yang tak jarang dapat melalaikan
ibadah. Sebaliknya, ketika seseorang memilih untuk tidak menikah, maka dia akan
lebih berkonsentrasi pada ibadah. Dengan demikian, bagi orang yang seperti ini,
meninggalkan pernikahan sesungguhnya lebih menyelamatkan agamanya.
Terkadang hukum nikah menjadi wajib, misalnya ketika
pernikahan itu menjadi satu-satunya jalan mencegah perzinaan atau mencerai
isteri yang masih mempunyai hak dalam pembagian waktu (bagi suami yang
beristeri lebih dari satu).
Pernikahan juga mungkin menjadi bentuk pengingkaran atas apa
yang dianjurkan bila ternyata dia tidak mampu memenuhi kewajiban seperti orang
yang tak memiliki biaya. Bagi orang yang seperti ini dia dianjurkan menahan
hasrat pernikahannya dengan cara berpuasa. Kalaupun puasa tidak membuatnya
mampu menahan syahwat, dia tidak diperkenankan merusak syahwatnya dengan cara
yang dilarang agama, tetapi menikah saja
dengan tujuan untuk lebih menjaga diri.
Pernikahan makruh dilakukan bagi orang yang belum ingin
menikah sementara dia juga tidak memiliki biaya, atau memiliki cukup harta
tetapi dia mempunyai penyakit semacam pikun atau lemah syahwat. Adakalanya pernikahan juga menjadi haram
seperti menikahi perempuan yang haram dinikahi atau mengumpulkan dua mahram.
Pernikahan yang diorientasikan untuk ibadah, dapat dilihat
dari seberapa besar nilai agama diperhitungkan dalam memilih pasangan. Seseorang
yang dapat dianggap mempunyai agama dan harga diri adalah orang yang selalu
menjadikan agama sebagai acuan dalam segala hal, terlebih dalam urusan
pernikahan karena dia harus berinteraksi dengan pasangannya untuk waktu yang
lama.
dikutip dari terjemah Dlo'ul Misbah Karya KH. Hasyim Asy'ari
0 komentar:
Posting Komentar