قال الله
تعالى : ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة.
Ayat
yang disebutkan di atas diturunkan dalam konteks membatalkan tradisi Jahiliyah
yang merendahkan martabat wanita dan tidak memberikan haknya yang layak dalam
pergaulan sosial, baik sebagai istri maupun sebagai keluarga. Demikian ini bisa
dibaca dari pernyataan Ibn ‘Abbas ra yang mengatakan, “Kami pada masa Jahiliyah
tidak memperhitungkan kaum wanita sama-sekali. Setelah Islam datang, dan Allah
menyebut (hak-hak) mereka (kaum wanita), maka kami melihat bahwa mereka juga
mempunyai hak yang harus kami penuhi tanpa melibatkan mereka dalam
urusan-urusan penting”.
Al-Bukhari
meriwayatkan pernyataan Sayidina Umar bin Al-Khaththab, “Kami golongan Suku
Quraiys selalu mengalahkan kaum wanita. Setelah kami datang ke Madinah, kami
melihat bahwa kaum Anshar dikalahkan oleh istri-istrinya, sehingga mulailah
istri-istri kami mengikuti tradisi mereka. Suatu hari ketika aku marah kepada
istriku, lalu ia melawan ucapanku dan ia berkata, “Mengapa kamu menganggap aneh
jika aku melawanmu, demi Allah para istri-istri Nabi selalu melawannya, dan
bahkan salah seorang dari mereka ada yang bersikap cemberut kepadanya sampai
malam hari.” Umar berkata, “Aku terkejut dengan perkataan itu seraya berkata,
“Benar-benar rugi orang yang melakukan hal tersebut dari mereka”. Lalu aku
kumpulkan baju-bajuku, aku datangi Hafshah dan berkata, “Wahai Hafshah, apakah
di antara kamu ada yang marah kepada Rasulullah sampai malam hari?” Ia
menjawab, “Ia. ”
Pada
masa Jahiliyah jika seorang suami meninggal dunia maka keluarganya lebih berhak
terhadap istrinya daripada keluarga sang istri. Jika mereka mau, mereka nikahi,
dan jika mau, mereka nikahkan dengan orang lain, dan jika mereka mau, tidak
mereka nikahkan sampai meninggal bersama mereka. Melihat
kesewenang-wenangan yang demikian ini al-Qur’an menurunkan QS. Al-Baqarah ayat
228 untuk mendeklarasikan hak-hak kaum wanita. “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf”.
Pendeklarasian
kesamaan hak dan keseimbangan kewajiban wanita dengan laki-laki ini
mengkhawatirkan akan menimbulkan sangkaan bahwa demikian ini berlaku dalam
segala hal. Dalam berbagai hal wanita mempunyai hak yang sama dengan laki-laki
Padahal antara keduanya banyak perbedaan-perbedaan, baik dalam segi fisik, cara
berfikir dan lain sebagainya. Karenanya Allah melanjutkan ayatnya dengan
redaksi, “Akan tetapi kaum laki-laki
(suami) mempunyai satu derajat (kelebihan) daripada mereka”.
Akan
tetapi, meskipun dijelaskan oleh Allah bahwa kaum laki-laki mempunyai satu
berajat lebih tinggi dari kaum wanita, tidak seorangpun dari kalangan ulama,
baik para mufassir maupun fuqaha, yang beranggapan bahwa laki-laki lebih tinggi
derajatnya daripada wanita secara mutlak. Karenanya mereka perlu menjelaskan,
bahwa yang dimaksud dengan derajat laki-laki di sini tidak bisa dilepaskan dari
tugas suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga, yang menjalankan
urusan-urusannya, sebagimana firman Allah:
الرجال قوامون
على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم، الاية النساء 34.
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh sebab Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. QS
Al-Nisa : 34.
Menurut
para pakar tafsir, pemberian derajat kepemimpinan kepada laki-laki ini tidak
dapat dilepaskan dari dua hal: Pertama, penciptaan laki-laki yang lebih pandai
dan seimbang dalam berfikir serta kesiapannya untuk memikul beban perjuangan
dan berusaha untuk kebutuhan keluarganya. Dan kedua, kewajibannya dalam
menafkahi istri, dengan memberikan mahar dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
berupa rumah, pakaian, makanan, minuman dan lain sebagainya. Dengan demikian
derajat ini sebenarnya merupakan implementasi dari tanggung jawab laki-laki
yang jauh lebih banyak daripada tanggung jawab wanita.
0 komentar:
Posting Komentar